Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah memperkirakan angka kemiskinan pada September 2020 naik menjadi 10,34 persen karena dampak pandemi COVID-19.
“Selama ini pemerintah berusaha menurunkan agar kemiskinan menjadi single digit tapi gara-gara COVID, kemiskinan akan kembali ke double digit,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (8/9).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase angka kemiskinan periode September 2019-Maret 2020 mencapai 9,78 persen atau sebesar 26,42 juta jiwa.
Baca juga: Nilai impor Sumut turun hingga 14,22 persen
Rusli memperkirakan angka kemiskinan pada September 2020 naik 0,56 persen atau sama dengan pertambahan angka kemiskinan dari periode September 2019 hingga Maret 2020 yang mencapai 1,63 juta jiwa.
“Angka kemiskinan ini juga sama dengan usaha penurunan kemiskinan selama 1,5 tahun yakni Maret 2018 hingga September 2019,” katanya.
Rusli mengatakan selama periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2014-2019, angka kemiskinan turun 1,74 persen atau 2,93 juta jiwa atau rata-rata per tahun turun 0,34 persen.
Mencermati dampak COVID-19 yang diperkirakan masih akan terasa tahun 2021, ia mengungkapkan target kemiskinan dari pemerintah sebesar 9,2 persen dinilai berat namun target 9,70 dinilai lebih realistis.
Sementara itu, terkait pengangguran dalam APBN 2020 ditargetkan berada pada rentang 4,88-5 persen.
Baca juga: Jumlah wisman di Sumatera Utara terus bergerak naik
Namun, dalam RAPBN 2021, pengangguran diperkirakan meningkat karena dampak COVID-19 mencapai 7,7-9,1 persen.
Dengan peningkatan itu, lanjut dia, menjadi yang tertinggi selama satu dekade terakhir karena pemerintah menyadari dampak COVID-19 sehingga sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah.
Meski begitu, ia menyebut salah satu kebijakan yakni subsidi gaji lebih menyasar pekerja formal, padahal lebih tepat diberikan kepada pekerja informal.
Rusli menjelaskan jumlah pekerja formal saat ini mencapai 52 juta atau 43,5 persen dan informal mencapai 56,5 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kebijakan tepat sasaran untuk menyasar pekerja formal non BPJS dan pekerja informal,” katanya.*