Medan (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) KH Ahmad Sadeli Karim mempertanyakan pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang menyebutkan agama adalah musuh terbesar Pancasila.
“Kami mempertanyakan pernyataan yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Kepala BPIP harus secepatnya memberikan klarifikasi agar tidak timbul kegaduhan yang berkepanjangan,” katanya kepada pers di Serang, Banten, Kamis.
Ketua Umum PBMA mengemukakan keterangan tersebut menanggapi pernyataan kontroversial Kepala BPIP yang baru-baru ini menyebutkan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama.
Pernyataan Kepala BPIP yang mempertentangkan agama dengan Pancasila itu menjadi viral dan dipertanyakan banyak pihak, terutama para tokoh agama dan kalangan legislatif.
Menurut KH Sadeli Karim, saat ini yang dibutuhkan dari PBIP justru adalah konsep dan aplikasi yang menarik untuk ‘membumikan’ Pancasila kepada masyarakat Indonesia secara umum, khususnya kepada generasi muda, dan bukan pernyataan yang kontroversial.
Ia juga mengingatkan bahwa sejatinya Pancasila merupakan warisan dari para ulama pendiri bangsa, terlebih sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang secara sangat jelas mengandung nilai luhur agama.
Ketua Umum PBMA lebih lanjut mengajak Kepala BPIP untuk bertabayyun dan membaca kembali sejarah perumusan azas negara Pancasila secara cermat dan seksama agar tidak gagal paham terhadap ideologi negara yang sudah disepakati para tokoh bangsa.
Salah satu tokoh pendidikan di Provinsi Banten itu juga mengharapkan Kepala BPIP segera menyadari kekeliruannya serta secepatnya mencabut pernyataannya yang kontroversial tentang Pancasila dan agama itu.
“Pemahaman masyarakat tentang Pancasila akan sulit terwujud jika pimpinan BPIP memiliki cara pandang yang kontroversial, bahkan bisa berbahaya,” kata pimpinan dari Mathlaúl Anwar,
Ormas yang kini memiliki perwakilan di 30 provinsi dan ribuan madrasah di berbagai daerah di Indonesia itu.
Mathla’ul Anwar yang khittahnya memajukan bidang pendidikan, dakwah, dan sosial itu sendiri didirikan berselang empat tahun setelah berdirinya Muhammadiyah serta sepuluh tahun lebih awal dibanding Nahdhatul Ulama (NU).
Ormas Islam itu didirikan pada 10 Juli 1916 oleh KH E Mohammad Yasin, KH Tb Mohammad Sholeh, dan KH Mas Abdurrahman serta dibantu oleh sejumlah ulama dan tokoh masyarakat di daerah Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Sementara itu Muhammadiyah didirikan pada 18 Nopember 1912 di Kauman Yogyakarta oleh KH Ahmad Dahlan dan NU pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH Hasyim Asy’ari.