Medan (ANTARA) - "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Ketika menjelaskan ayat di atas, Imam As-Sadi menjelaskan bahwa Islam tegas melarang segala diskriminasi terhadap orang lain. Larangan itu termasuk memberi perlakuan berbeda karena perbedaan suku, ras, bangsa, jenis kelamin, warna kulit, status sosial, dan lainnya.
Memang, salah satu misi Islam dalam membangun peradaban adalah mengangkat derajat kaum perempuan. Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia, mengangkatnya ke derajat yang tinggi dengan memberikan kebebasan, kehormatan dan hak pribadinya secara merdeka.
Allah Taala menciptakan perempuan beserta keindahannya. Keindahan itu bukan hanya dinilai dari fisik saja, melainkan juga hati dan pikiran. Layaknya perhiasan, perempuan haruslah dirawat, dilindungi dan dijaga dari eksploitasi dan kehinaan.
Sebagai agama kemanusiaan (religious of humanity), ajaran Islam mencakup semua aspek hidup dan perikehidupan. Islam mengapresiasi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Penghormatan dan penghargaan terhadap kemanusiaan menjadi ajaran pokok dalam syariat Islam.
Perempuan di era Pra-Islam
Sejarawan Inggris, Sue Blundell dalam bukunya Women in Ancient Greece menulis, pada masa Yunani, kaum lelaki menganggap perempuan sebagai sumber bencana dan penyakit. Perempuan diposisikan sebagai makhluk yang paling rendah. Mereka menganggap perempuan sebagai kotoran, budak, atau barang dagangan.
Sementara itu Thomas A. J. McGinn dalam buku Prostitution, Sexuality, and the Law in Ancient Rome menyatakan, dalam peradaban Romawi, perempuan berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah menikah, kekuasaan tersebut beralih ke suami yang boleh menjual, mengusir, menganiaya, bahkan membunuhnya.
Di era Mesir kuno, kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib dan tanda sial, seperti terjadi di masyarakat Arab jahiliyah sehingga terdapat tradisi mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena malu.
Di Cina, sejak Dinasti Han (206 SM-220 M) hingga zaman semi kontemporer, penguasa Cina mempraktekkan sistem patriarki. Patriarki merupakan sistem sosial dan falsafah yang menganggap laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Dalam tradisi India, sejarawan Renate Syed dari Universitas Ludwig-Maximillian di München menulis buku,”Ein Unglück ist die Tochter (Sialnya Anak Perempuan).
Ia menulis, ”Perempuan sejak dulu dilihat sebagai milik kaum pria. Hanya pria yang dianggap sebagai mahluk yang bijaksana. Perempuan dianggap tidak bijaksana. Karena itu, orang menganggap perempuan harus diawasi oleh pria.”
Sementara itu menurut kepercayaan Yahudi, wanita adalah makhluk terlaknat. Mereka meyakini, wanitalah yang menyebabkan Adam melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari surga.
Bahkan sebagian golongan Yahudi menganggap seorang ayah berhak memperjualbelikan putrinya. Di sisi lain, ketika seorang istri mendapatkan penghasilan, maka itu akan menjadi hak keluarga suami. Keadaan mengerikan itu terus berlangsung hingga abad ke-enam Masehi.
Perempuan dalam Syariat Islam
Islam datang mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. Islam memberi kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan kembali kehormatan dan kemuliaan. Perempuan berkesempatan membangun rumah tangga serta memiliki suami dan anak-anak dalam naungan keluarga yang utuh.
Berdasarkan tarikh kenabian, perempuan diberi kebebasan memiliki harta benda, melakukan transaksi jual beli, memberi dan menerima hibah, hingga mendapat bagian yang adil dalam pembagian harta warisan.
Islam juga menjaga kehidupan kaum perempuan dengan memerangi tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan sebagai cermin kebencian terhadap mereka.
Sebagai bukti bahwa Islam memberi kehormatan dan kemuliaan kepada perempuan, Allah berwasiat mengenai pentingnya menghormati kedua orangtua, terutama ibu, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula),. (QS. Al Ahqaaf: 15)
Dari ayat di atas, Allah Subhanahu wa Taala mengingatkan perjuangan melelahkan yang dilakukan oleh kaum ibu. Itulah sebabnya, Allah lebih mempertegas penghormatan kepada ibu. Dia secara khusus menyebutkan dalam kalimat yang lebih banyak dibanding ayah.
Sementara itu dalam banyak hadits, Rasulullah mempertegas penghormatan dan kemuliaan seorang perempuan. Dalam sabdanya, Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya. (HR Ibnu Majah).
Perempuan dalam Peradaban Islam
Dalam sejarah peradaban Islam, sejak Nabi Muhammad hingga saat ini tidak lepas dari peran perempuan, di antaranya dalam bidang keilmuan, aktivitas sosial, hingga kepemimpinan. Ibnu Hajar Al-Atsqalani, dalam buku Al Ishabah fi Tamyiz ajh-Shahabah menyebutkan, terdapat 500 perempuan yang menjadi ahli hadits.
Dalam tarikh permulaan perkembangan Islam, perempuan yang begitu besar jasanya membantu perjuangan dakwah adalah Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam.
Di sisi lain, orang yang pertama dinyatakan syahid oleh Rasulullah adalah perempuan bernama Sumayyah binti Khayyat. Ia merupakan salah satu dari 30 orang yang dijamin masuk surga sebagaimana ditulis Dr Mushthafa Murad dalam bukunya “30 Orang Yang Dijamin Masuk Surga”.
Dalam dunia militer dan diplomasi, sejarah mencatat peran besar perempuan bernama Nusaybah Binti Kaab. Ia berasal dari suku Bani Najjar di Madinah yang terkenal dengan keberaniannya di medan perang.
Namanya dikaitkan dengan banyak peristiwa dan pertempuran, seperti Bait-ul-'Aqabah II, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Yamamah, dan Perjanjian Hudaybiyah.
Dalam Perang Uhud, Nusaybah Binti Kaab mengawal dan melindungi Nabi Muhammad dari serangan musuh. Ia menderita 12 luka panah ketika melindungi Baginda Nabi.
Dalam dunia keilmuan, ada nama Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi periwayat hadits yang masyhur. Aisyah tercatat meriwayatkan 2210 hadits. Banyak ulama dari kalangan sahabat dan tabiin menimba ilmu dari Aisyah.
Dalam dunia pendidikan, di abad pertengahan ada nama Fathimah Al-Fihriyah. Ia adalah pelopor pembangunan universitas pertama di dunia, yakni Universitas al-Qarawiyyin di kota Fez, Maroko.
Di dunia tasawuf dan sastra, ada nama Rabiah Al-Adawiyah yang terkenal dengan bait-bait puisi penggugah jiwa. John Renard mencatat dalam bukunya Historical Dictionary of Sufism” (2005), "Rabiah adalah salah satu dari sedikit perempuan yang konsisten mendapat tempat dalam antologi hagiografi selama berabad-abad."
Sementara itu dalam konteks keindonesiaan, banyak muslimah yang menginspirasi perjuangan. Tercatat dalam sejarah ada Cut Nyak Dien yang berjuang melawan penjajahan Belanda di Aceh.
Ada Laksamana Malahayati yang memimpin 2.000 pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan) dan berhasil membunuh pimpinan pasukan Belanda, Cornelis de Houtman pada 11 September 1599 dalam pertarungan head to head di atas kapal di tengah laut.
Di Jawa Tengah, ada RA Kartini, seorang Muslimah murid KH Sholeh Darat yang dengan kekuatan tulisannya mampu menjadi inspirasi bagi kaum Hawa di berbagai negara. Kumpulan surat Kartini berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) diterbitkan pada 1911.
Ia menulis: “Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami menuju keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martabat manusia.”
Pendidikan perempuan dalam Islam
Dalam konteks hak mendapatkan pendidikan, ajaran Islam sangat perhatian terhadap umatnya yang menuntut ilmu. Banyak ayat Al-Quran dan Hadits yang menganjurkan dan mengagungkan orang berilmu.
Lebih dari itu, hukum menuntut ilmu bahkan wajib bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dan baik anak-anak maupun orang dewasa. Mereka memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses pendidikan.
Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, "Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim dan Muslimah." Hadits itu menegaskan bahwa kaum perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam menuntut ilmu.
Nabi Muhammad tidak menghalang-halangi kaum perempuan shalat berjamaah di masjid. Rasulullah juga tidak memasung sikap kritis yang dilontarkan perempuan yang ingin mendalami suatu masalah.
Ali Abdul Fatah dalam buku,“Alam al-Mubdiin min Ulama Al-Arab wal-Muslimin menyatakan, seorang bernama Khaulah binti Tsalabah pernah berdebat dengan Rasulullah dalam masalah agama.
Khaulah yakin bahwa di antara hak Muslimah adalah bebas menyampaikan pendapatnya, tanpa dibatasi. Peristiwa itu yang menjadi sebab turunnya surah Al-Mujadilah.
Mengenai pemisahan laki-laki dan perempuan dalam proses pembelajaran, para pakar pendidikan di beberapa negara mengatakan, hal itu berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi dan hasil belajar.
Para murid yang kelasnya terpisah (antara laki-laki dan perempuan) bisa lebih fokus menerima materi dan mendapat nilai yang lebih baik dibanding dengan kelas yang dicampur.
Perempuan bekerja dalam pandangan Islam
Islam tidak pernah memposisikan perempuan hanya berdiam diri di rumah tanpa ada aktifitas bermanfaat. Nabi Muhammad bersabda, "Sebaik-baik canda seorang Muslimah di rumahnya adalah bertenun." Itu artinya perempuan harus beraktifitas dan tidak boleh menganggur.
Cendekiawan Mesir, Sayid Qutb menyebut, Islam memperbolehkan Muslimah bekerja dengan beberapa ketentuan. Ia menilai tidak ada larangan bagi perempuan menjadi dokter, guru, peneliti, maupun tokoh masyarakat. Islam memperbolehkan Muslimah bekerja sesuai kemampuan dan kodrat kewanitaannya.
Dalam kaitan ini pula Guru Besar Ilmu Al-Quran Universitas Sayf al-Dawlah (Suriah) Dr Abdul Qadir Manshur menjelaskan, Muslimah boleh melakukan kegiatan berdagang dan melakukan transaksi jual beli atau membuka usaha dengan harta benda (modal) pribadinya.
Dalam kegiatan jual beli, Muslimah diperbolehkan memperlihatkan wajah, dan kedua telapak tangan ketika akan memilih, mengambil, maupun memberikan barang dagangan.
Bagi Muslimah yang telah menikah, boleh bekerja setelah mendapat izin suami. Bagi yang belum menikah ia mendapat izin dari walinya. Meski demikian, hak izin dari suami otomatis gugur jika ia tidak memberi nafkah kepada istri.
Adapun ketentuan bersifat khusus yang perlu diperhatikan adalah bahwa pekerjaan tidak mengharuskan seorang Muslimah berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Badai al-Shanai mengatakan, haram menjadi asisten pribadi bagi perempuan jika atasannya adalah laki-laki bukan muhrimnya. Larangan ini mengingat kemungkinan fitnah yang mungkin timbul ketika dia berduaan dengan atasan.
Ketentuan lainnya, saat bekerja tidak mengharuskan dirinya berdandan berlebihan, apalagi membuka aurat. Larangan ini sejalan dengan firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 33, "Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu…"
Sebagai penutup dari tulisan ini, kami mengutip sabda Rasulullah,“Tidaklah memuliakan wanita kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan wanita kecuali orang yang hina. (HR. Ibnu Asakir). Wallahu alam bi shawab.
*) Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia.