Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menegaskan kanker serviks atau kanker leher rahim memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat disembuhkan terutama apabila terdeteksi pada stadium awal.
Namun yang menjadi permasalahan di Indonesia, ujar Nadia, sebagian besar kasus kanker ditemukan pada stadium lanjut sehingga 70 persen penyakit ini, khususnya kanker serviks, menimbulkan kematian. Di sisi lain, kanker yang terdeteksi pada stadium lanjut juga menyebabkan pembiayaan pengobatan menjadi lebih mahal.“
Makanya, target dari WHO itu bisa eliminasi kanker leher rahim. Karena memang jenis kanker ini, dengan kombinasi target 90-75-90, artinya kita betul-betul bisa eliminasi. Kita bisa betul-betul turunkan kasus ini,” kata Nadia dalam diskusi bersama media di Jakarta, Kamis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan eliminasi kanker serviks pada 2030 dengan target 90-70-90 yaitu 90 persen anak perempuan di bawah usia 15 tahun mendapatkan vaksin HPV, 70 persen perempuan berusia 35 tahun dan 45 tahun harus diskrining menggunakan tes performa tinggi, serta 90 persen perempuan dengan lesi prakanker mendapatkan tata laksana sesuai standar.
Merespons target WHO tersebut, Nadia mengatakan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kanker Leher Rahim sebagai acuan untuk mengimplementasikan strategi komprehensif dalam menanggulangi kanker leher rahim, salah satunya pilar pemberian layanan untuk meningkatkan kualitas skrining.
Khusus untuk skrining, pemerintah menargetkan 70 persen perempuan berusia 30-69 tahun diskrining menggunakan tes HPV DNA untuk fase pertama serta 75 persen perempuan 30-69 tahun skrining dengan tes HPV DNA setiap 10 tahun sekali untuk fase kedua.
Nadia meyakini, kasus kanker serviks di Indonesia dapat ditekan serendah mungkin bahkan dieliminasi dengan kombinasi strategi peningkatan akses skrining, cakupan vaksinasi HPV, serta pengobatan tepat waktu bagi perempuan dengan lesi prakanker.
“Dengan skrining kita sudah bisa lihat apa yang terjadi pada rahim kita. Kemudian kalau masih dini, kerusakannya itu mungkin masih sedikit 10 persen, itu bisa kita atasi sehingga tentunya dia tidak akan berlanjut ke stadium berikutnya. Makanya kenapa skrining penting, terus dia mendapatkan tata laksana, sehingga betul-betul dengan kombinasi itu kita bisa eliminasi,” kata Nadia.
Pada bulan ini, tepatnya pada 17 November yang lalu, diperingati sebagai Hari Eliminasi Kanker Serviks Sedunia. Nadia mengingatkan bahwa peringatan tersebut sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat untuk menghindari penyakit kanker khususnya kanker serviks yang merupakan jenis kanker terbanyak kedua yang diderita perempuan Indonesia.
Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan secara kultur dalam skrining kanker serviks di mana perempuan dewasa biasanya menghadapi rasa malu ketika menjalani prosedur pengambilan sampel di sekitar rahimnya dan cenderung meminta izin terlebih dahulu kepada pasangannya untuk dapat melakukan pemeriksaan tersebut.
Oleh sebab itu, Nadia pun menegaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan atau mengambil keputusan untuk memeriksakan diri dan melanjutkan pengobatan kanker serviks tanpa harus bergantung pada izin yang diberikan suami.
“Tidak dipungkiri, bahwa tren penyakit itu lama-lama (yang semakin meningkat) adalah penyakit tidak menular salah satunya kanker. Ini yang tentunya menjadi suatu yang harus kita lakukan untuk kemudian kita terus memberikan informasi dan edukasi kepada semua perempuan. Dan ketika bicara gender, salah satu hak yang harus diperjuangkan oleh perempuan adalah hak kesehatan dirinya,” kata Nadia.