Jakarta (ANTARA) - "Kami punya pesan sederhana untuk semua negara; tes, tes, tes."
Kalimat ini dilontarkan 16 Maret silam oleh Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus ketika badan PBB urusan kesehatan ini menilai uji COVID-19 yang merupakan penyakit akibat virus corona adalah cara terbaik dalam memperlambat laju penularan virus ganas yang berasal China yang kini sudah merenggut 240-an ribu nyawa di seluruh dunia tersebut.
Tanpa tes COVID-19, kata Ghebreyesus, kasus virus corona tak bisa diisolasi dan rantai infeksi tak akan bisa diuraikan.
Bahkan, para pakar kesehatan menyebutkan, tes yang ekstensif bisa mengidentifikasi orang yang memiliki plasma darah mengandung antibodi khusus COVID-19 yang pernah menjadi sebuah pendekatan dalam melawan pandemi flu 1918.
Tetapi, sebulan sebelum bos WHO yang pakar mikrobiologi dan malaria dari Ethiopia itu berbicara demikian, Korea Selatan sudah melancarkan rangkaian tes yang agresif.
Korea Selatan pula yang 1 Mei lalu dipuji Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres karena berhasil menjinakkan COVID-19 sehingga dunia disebutnya pantas meneladani Korea Selatan.
Kamis 30 April negara itu untuk pertama kalinya menyatakan tidak ada kasus baru COVID-19 ditemukan di sana.
Korea Selatan, selain Taiwan dan Jepang, adalah negara yang sangat dekat dengan muasal yang pernah menjadi episentrum virus corona global di Wuhan, China.
Namun "hanya" ada 247 korban meninggal dunia akibat penyakit ini di Korea Selatan, dari 10.765 kasus terkonfirmasi yang 9.059 di antaranya sembuh.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Italia, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat di mana puluhan ribu nyawa melayang direnggut COVID-19.
Bagaimana Korea Selatan bisa seberhasil itu?
Bergerak bagai tentara
Sudah banyak orang yang membahasnya, namun yang paling sering disorot dunia adalah keberhasilannya dalam melakukan tes COVID-19 skala luas nan masif seperti kemudian dipesankan oleh Dirjen WHO kepada dunia.
Keberhasilan Korea Selatan itu salah satunya dibeberkan oleh Reuters pada 18 Maret 2020.
Memang sudah lama sekali, namun masih tetap aktual, terutama karena banyak negara yang masih sedikit dalam melakukan tes COVID-19, salah satunya Indonesia.
Cerita sukses Korea Selatan diawali ketika akhir Januari silam ketika para pejabat kesehatan Korea Selatan bergegas mengumpulkan para wakil dari sekitar 20 perusahaan kesehatan di sebuah ruang konferensi yang berada di kompleks stasiun kereta api Seoul.
Salah seorang pejabat yang juga pakar penyakit menular terkemuka negara itu menyampaikan pesan penting: Korea Selatan harus sesegera mungkin menggelar tes virus corona guna mendeteksi virus yang saat itu baru merajalela di China.
Si pejabat menjanjikan akses dan izin, termasuk jaminan perlindungan komersial, kepada perusahaan-perusahaan yang diajak bertemu itu.
Kendati cuma ada empat kasus terkonfirmasi di Korea Selatan saat itu, para pejabat negeri ini sudah menduga wabah dari China itu bakal segera menjadi pandemi, jauh sebelum WHO mengumumkannya demikian pada 13 Maret 2020.
"Kami gugup sekali. Kami yakin wabah ini bisa berkembang menjadi pandemi," kata Lee Sang-won, ahli penyakit menular pada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Korea, kepada Reuters. "Kami pun bergerak bagaikan tentara."
Sepekan setelah pertemuan 27 Januari, CDC Korea Selatan menyetujui uji diagnostik sebuah perusahaan. Disusul perusahaan lainnya.
Akhir Februari, Korea Selatan menjadi buah bibir dunia berkat pola skrining drive-through-nya dan kemampuannya dalam menguji ribuan orang setiap hari.
Cerita dari Vietnam
Tujuh pekan setelah pertemuan di stasiun kereta bawah tanah itu, Korea sudah menguji lebih dari 290.000 orang dan mengidentifikasi lebih dari 8.000 kasus infeksi. Dan kasus pun terdeteksi sejak awal sehingga angka infeksi dan korban ditekan sedrastis mungkin.
Negara lain yang menarik perhatian adalah Vietnam yang sampai 30 April lalu hanya mencatat 270 kasus tanpa seorang pun meninggal dunia.
Negeri yang berbatasan langsung dengan China itu mempraktikkan strategi drakonian atau kejam dalam membendung pandemi yang disebut harian Inggris, The Guardian, berpijak kepada empat fondasi; kesegeraan waktu, kontrol infeksi yang agresif, mobilisasi penduduk, dan buka-bukaan soal penyakit ini sejak awal.
Vietnam yang seperti Korea Selatan belajar dari pengalaman wabah SARS, tak mau disusul waktu.
Pada 28 Januari ketika hanya ada satu kasus terkonfirmasi di sini, pemerintah mereka buka-bukaan kepada rakyatnya dengan menyatakan ribuan orang berpotensi terpapar virus ini.
Transparansi ini demi membuat rakyatnya maklum jikalau negara menempuh langkah-langkah drastis di kemudian waktu.
Dan langkah yang ditempuh Vietnam lebih dari sekadar drastis bahkan melampaui apa yang tidak direkomendasikan WHO, misalnya menutup seluruh penerbangan ke dan dari negeri ini yang waktu itu belum direkomendasikan WHO.
Negeri ini mewajibkan penduduknya mengenakan masker sejak awal Januari ketika WHO baru mengeluarkan rekomendasi wajib masker akhir Januari.
Vietnam menyadari infrastruktur kesehatannya tak sehebat negara lain sehingga bisa kewalahan seperti Ekuador jika tidak siap. Untuk itu mereka fokus kepada strategi keras dengan tes COVID-19 massal dan penelusuran kontak yang agresif.
Negara ini sudah melakukan hal seperti ini 17 tahun silam saat diserang wabah SARS. Bedanya kini, strategi ini dilancarkan besar-besaran. Hasilnya, sampai 30 April, Vietnam sudah melakukan 261.004 tes dan memasukkan puluhan ribu orang dalam isolasi.
Agresif sekali
Strategi tes dan penelusuran kontak negeri ini didasarkan kepada empat prinsip yang langsung diumumkan me nteri kesehatannya. Hampir sama seperti diterapkan Indonesia kemudian yang mengkategorikan pasien ke dalam Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasian Dalam Pengawasan (PDP), dan Suspect.
Bedanya Vietnam mengadopsi tindakan superkeras, semisal langsung mengkarantina lingkungan, desa atau bahkan kota begitu diketahui ada pasien COVID-19 serius di situ.
Setiap pasien baru terduga COVID-19 langsung diharuskan menjalani serangkaian tes sehingga Vietnam sudah mengetes hampir 800 orang untuk setiap kasus baru terkonfirmasi. Menurut Reuters, angka ini adalah paling tinggi di dunia dalam kategori ini.
Vietnam juga menciptakan sendiri alat tes standard WHO yang bahkan kemudian diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat.
Tes penelusuran kontaknya luar biasa agresif sehingga mungkin bisa membuat marah para pembela HAM dan privasi. Bagaimana tidak, negara ini reguler membeberkan riwayat perjalanan pasien baru entah itu di medsos maupun di surat kabar, agar orang waspada tanpa harus mengucilkan si pasien dan kerabatnya.
Baca juga: Kaum muda kebanyakan tidak sadar terinfeksi COVID-19
Baca juga: Pasien positif COVID-19 di Ekuador lampaui 30.000 kasus
Tak cukup dengan itu, setiap orang yang baru masuk Vietnam diwajibkan menguraikan riwayat perjalanannya dan kemudian mendapatkan semacam pernyataan sehat. Jika bohong, penjara adalah ganjarannya.
Sejak awal pemerintah Vietnam sudah memaklumatkan upaya membendung COVID-19 ini layaknya perang sampai-sampai para dokter dan perawat di negeri ini disebut sebagai para "prajurit pandemi" yang di negara-negara Barat disanjung dan dihormati sebagai para pekerja kesehatan garis depan.
Semua dimobilisasi, termasuk rakyat yang agresif didorong tahu detail virus ini lewat media sosial, pesan teks, dan siaran televisi, bahkan dalam menggalang solidaritas nasional.
Sejak awal pandemi, sikap Vietnam jelas yakni ingin melindungi reputasinya sebagai "negara aman". Sikap berani buka-bukaan sejak awal mengenai bahayanya penyakit ini tak saja mempertahankan reputasi negeri ini sebagai negara aman, namun juga menguatkan kepercayaan kepada rezim.
10.000 tes sehari
Ada banyak cerita serupa itu di belahan bumi lainnya. Agra di India atau Jerman yang disebut-sebut cerita sukses di Eropa, juga melakukannya.
Dua negara di sebelah selatan Indonesia, yakni Australia dan Selandia Baru, juga dipuji karena selain menerapkan langkah-langkah terkeras dalam membatasi manusia guna mencegah penyebaran virus, juga melancarkan tes COVID-19 dan pelacakan kontak terpapar virus yang ekstensif.
Indonesia disebut-sebut masih minim dalam soal tes COVID-19 ini.
Survei Amrta Institute yang disiarkan online pada 4 Mei 2020 sendiri menunjukkan persentase tes COVID-19 Indonesia belum mencapai 0,1 persen dari jumlah penduduk ketika di beberapa negara rata-rata di atas 1-2 persen.
Survei ini menunjukkan Indonesia baru melakukan tes terhadap 86.985 dari total 237 juta penduduk atau sekitar 0,032 persen. Padahal, menurut Amrta Institute, jumlah tes yang rendah tak bisa menggambarkan peta utuh penyebaran COVID-19 sehingga jika tak memiliki peta yang utuh maka respons kebijakan pun bisa tidak tepat.
Pemerintah Indonesia sendiri agaknya mendengarkan semua suara seperti ini, apalagi Presiden Joko Widodo sendiri telah lama memasang target 10.000 tes COVID-19 setiap hari.
Dan setelah sekian hari menanti, pada Minggu 3 Mei via saluran YouTube, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro menyatakan 10 ribu kit rapid-test Corona siap digunakan mulai 8 Mei nanti.
Sebuah kabar menggembirakan bagi upaya Indonesia dalam menekan lebih dalam lagi jumlah kasus COVID-19 pada tingkat paling minimal.
Cara Korea Selatan dan Vietnam perangi COVID-19
Rabu, 6 Mei 2020 11:46 WIB 3164