Jakarta (ANTARA) - Menurut World Stroke Organization, satu dari enam orang di seluruh dunia pernah terkena stroke di sepanjang kehidupannya, lima belas juta orang di seluruh dunia menderita stroke setiap tahun, dan sekitar 5,8 juta jiwa meninggal karenanya.
Prevalensi stroke di dunia menunjukkan angka beragam. Setiap 60 detik, diperkirakan 6 orang meninggal dunia dan dijumpai 30 insiden stroke di seluruh dunia. Pada tahun 2015, kematian akibat stroke tanpa tindakan tepat mencapai 6,7 juta jiwa.
Studi yang dilakukan oleh Asplund K, dkk (2009) di 8 negara Eropa menemukan peningkatan risiko stroke sebesar 9 persen per tahun pada pria dan 10 persen per tahun pada wanita.
Indonesia memiliki proporsi penderita stroke tertinggi di Asia dan juga menempati peringkat keempat di dunia untuk kejadian stroke (setelah India, Cina, dan Amerika). Stroke menjadi penyebab kematian paling umum di Indonesia pada tahun 2014, dengan 21 persen kematian akibat stroke.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007 menunjukkan bahwa prevalensi stroke mencapai 8,2 per 1.000 populasi di 33 provinsi. Di Kabupaten Sleman Yogyakarta, prevalensi stroke mencapai 1,4 persen (0,5 persen pria dan 0,90 persen wanita).
Menurut Misbach J dan Ali W (2001), terdapat 2.065 penderita stroke akut yang dirawat di 28 RS di Indonesia, pria lebih dominan daripada perempuan, terbanyak pada kisaran usia 18-95 tahun. Umur rerata penderita stroke sekitar 58,8 tahun.
Angka ini masih relatif sama beberapa tahun kemudian. Kusuma Y, dkk (2009) membuktikan bahwa prevalensi stroke di Indonesia sekitar 0,0017 persen di wilayah pedesaan, 0,022 persen di daerah perkotaan, sejumlah 0,5 persen pada orang dewasa di kota Jakarta, dan 0,8 persen secara keseluruhan.
Mayoritas penderita sampai di RS melebihi enam jam sejak mengalami stroke. Keterlambatan itu antara lain dikarenakan jauhnya transportasi.
Gejala stroke tersering adalah disabilitas motorik. Stroke berulang ditemukan di sekitar 20 persen pasien. Kasus stroke iskemik paling sering terjadi.
Stroke dapat dikelompokkan menjadi stroke iskemik (penyakit pembuluh kecil, aterotrombotik, kardioembolik) yakni sekitar 85 persen kasus dan stroke hemoragik (perdarahan otak di bagian subarachnoid dan intraparenkim) pada 15 persen kejadian stroke.
Stroke iskemik dijumpai pada 42,9 persen kasus stroke, sementara perdarahan intraserebral sekitar 18,5 persen, penderita stroke, dan perdarahan subaraknoid hanya 1,4% pasien stroke.
Berbagai faktor risiko primer untuk stroke, misalnya diabetes mellitus, hipertensi, merokok, dislipidemia, penyakit jantung dan sebagainya.
Stroke disebabkan oleh penyumbatan arteri serebral, yang menyebabkan iskemik fokal, kehilangan neuron dan sel-sel glia, gangguan motorik, sensorik, atau kognitif. Stroke melepaskan beragam molekul kemotaktik seperti interleukin 8 [IL-8], monocyte chemoattractantprotein-1 [MCP-1].
Terapi transplantasi sel punca telah direkomendasikan untuk mengobati pasien stroke. Berbagai tipe sel-sel progenitor atau sel punca, seperti: sel-sel punca embrionik (ESCs), sel-sel punca mesenkimal (MSCs), sel-sel prekursor atau neural stem cells, neuron-neuron terinduksi, dan induced pluripotent stem cells (iPSCs), telah terbukti sebagai terapi berbasis seluler yang potensial untuk stroke.
Human induced pluripotent stem cell-derived NSCs juga dapat dipakai untuk mengatasi kasus stroke iskemik.
Salah satu strategi menjanjikan dalam penggunaan iPSC untuk mengobati stroke adalah kemampuannya untuk berdeferensiasi menjadi NSC. Induced pluripotent stem cell-derived neural stem cells (iNSCs) diharapkan menyediakan sel-sel yang multipoten dan autologus sebagai terapi stroke berbasis seluler.
Sel Punca Vs Stroke
Sejak publikasi Till dan McCulloch pada tahun 1963, stem cells (sel punca) telah digunakan sebagai alternatif bagi beragam penyakit, termasuk stroke. Yamashita T, dkk (2017) berhasil membuktikan melalui eksperimen, transplantasi iNSC (induced neural stem cells) meningkatkan rerata survival dengan pemulihan fungsional signifikan dari stroke iskemik.
Neural stem cell (NSC) merupakan varian multipoten dari sel punca di otak. Sel-sel ini terletak di zona sub-ventrikel (SVZ) dari ventrikel ketiga dan di zona subgranular (SGZ) dari girus dentate, merespons insults otak sebagai penyebab kematian neuron, seperti stroke. NSC bukan hanya berproliferasi melainkan juga bermigrasi ke area lesi, bahkan pada pasien berusia lanjut. NSC dapat dikultur secara in vitro untuk terapi sel punca. Bila diberikan secara intravena, NSC mampu bermigrasi menuju area iskemik.
Selain NSC, Bone Marrow Stromal Cells (BMSC) juga berpotensi "menyembuhkan" stroke. Di laboratorium, BMSC terbukti mengandung berbagai subset, termasuk sel-sel progenitor endotel (EPCs), sel-sel punca mesenkim (MSCs), sel-sel punca hematopoietik (HSCs), dan very small embryonic-like stem cells (VSELs).
Studi yang dilakukan oleh Xinchun Ye dkk (2016) membuktikan bahwa proliferasi sel prekursor neuron endogen secara signifikan meningkatkan SVZ setelah terapi BMSC. Tatalaksana BMSCs pada stroke juga memperbaiki kerusakan neurologis tikus coba melalui proses reduksi volume infark, angiogenesis, neurogenesis, dan sinaptogenesis.
Sel punca dewasa seperti MSCs berpotensi sebagai pilihan terbaik untuk terapi stroke karena mensekresikan pelbagai substansi bioaktif, seperti: faktor-faktor trofik dan vesikel-vesikel ekstraseluler, menuju bagian otak yang mengalami cedera, terkait dengan peningkatan neurogenesis, angiogenesis, dan sinaptogenesis.
Selain itu, MSCs berperan melemahkan inflamasi (peradangan), menipiskan jaringan parut, menggiatkan autofagi, menormalkan profil-profil metabolik atau lingkungan dalam skala mikro, dan memperbaiki kerusakan sel-sel di pelbagai penyakit otak.
Sel-sel yang ditransplantasikan dari beragam sumber yang berbeda, seperti sel lines teratokarsinoma atau neuroepitel, otak janin, sumsum tulang, dan tali pusat, telah menghasilkan beberapa perbaikan pada hewan coba, dan dalam satu uji klinis, pada penderita stroke. Dalam kebanyakan kasus, cangkok (graft) berperan memberikan berbagai faktor trofik untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi sel.
Agar terapi sel punca menjadi nilai klinis utama, sel-sel manusia sebaiknya mampu menggantikan neuron-neuron yang telah mati, melakukan proses remielinasi akson, serta memperbaiki sirkuit neuron yang rusak.
Sebagai upaya pertama mencapai tujuan ini, berbagai sel punca neuron janin manusia ditransplantasikan ke otak tikus yang rusak akibat stroke, mengakibatkan migrasi neuron baru menuju lesi iskemik.
Riset lain menunjukkan, ES-cell-derived progenitors monyet yang ditransplantasikan ke otak tikus setelah stroke dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel neuron dan sel glia, mengkoneksikan kembali area target, dan meningkatkan fungsi motorik. Efektivitas terapeutik pelbagai strategi itu dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan modifikasi genetik sel punca. Misalnya melalui proses overekspresi gen anti-apoptosis.
Menariknya, otak tikus dewasa yang rusak akibat stroke memiliki kapasitas untuk mengganti neuron dari sel-sel neural stem (NS)-nya sendiri. Beberapa bulan setelah stroke, sel-sel NS dapat menghasilkan neuron striatal baru yang bermigrasi ke area yang mengalami kerusakan.
Amatlah penting untuk menentukan apakah neurogenesis endogen dapat berkontribusi terhadap pemulihan fungsional pascastroke, dan dapatkah hal itu terjadi pada manusia. Regenerasi neuron-neuron kortikal menjadi dasar perbaikan fungsional di sebagian besar otak penderita stroke.
Para ilmuwan sedang berusaha mencari jawaban, apakah sel-sel NS otak orang dewasa dapat dipicu untuk menghasilkan neuron-neuron kortikal.
Terapi yang efektif bergantung kepada strategi untuk meningkatkan survival neuron-neuron baru dan untuk meningkatkan inkorporasi menuju reorganisasi sirkuit sistem persarafan.
*) Dito Anurogo adalah instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, kepala LP3AI Adpertisi, pegiat FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM
Menaklukkan stroke dengan terapi sel punca
Senin, 24 Juni 2019 15:17 WIB 1534