Pekanbaru (ANTARA) - Gajah diberkahi Tuhan dengan sifat alami yang membuatnya berperan sebagai tukang kebun di hutan belantara. Setiap kawanan satwa bongsor ini melewati daerah jelajahnya, mereka membuat jalur alami dan menebar biji-bijian dari buah yang dimakannya.
Namun, hal ini makin terlupakan karena masyarakat kini memandang gajah di alam sebagai hama, sedangkan gajah yang lucu hanya ada di kebun binatang. Pembangunan sering kali tidak mengindahkan makhluk hidup lainnya, keseimbangan di alam pun terganggu dan muncullah konflik satwa dengan manusia.
Pada tahun ini konflik satwa dengan manusia mungkin berada pada titik terburuk. Pada Mei lalu, seorang buruh pemanen pohon akasia di perusahaan tewas diterkam harimau sumatera liar, kemudian menjelang Idul Fitri 1440 Hijriyah gajah sumatera masuk perkebunan warga.
Kasus gajah bahkan hingga kini masih berlangsung. Di sekitar Minas 11 ekor gajah mendekati permukiman di Kota Pekanbaru membuat pawang dan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau harus bekerja saat libur Lebaran. Begitu juga di Kabupaten Indragiri Hulu, enam ekor gajah keluar dari lanskap Tesso Nilo, masuk perkebunan karet dan sawit warga.
Warga mencoba menghalau secara swadaya, namun malah membuat kawanan gajah itu terpecah dua sehingga empat berkeliaran di Kecamatan Peranap dan sisanya di Kecamatan Kelayang. Hingga lebih 14 hari terakhir, kawanan gajah liar itu masih belum bisa dihalau untuk masuk hutan.
Kerusakan Habitat
Konflik satwa dengan manusia tidak bisa dimungkiri akibat kerusakan habitat mereka, akibat manusia tidak bisa menjaga keseimbangan ekosistem saat melakukan pembangunan.
Contohnya, pada kasus gajah sumatera, Humas WWF Program Riau Syamsidar mengatakan konflik dengan manusia terjadi di area yang memang menjadi wilayah jelajah satwa dilindungi tersebut.
“Gajah hanya akan melalui jalurnya sama sejak nenek moyangnya, tapi karena perubahan fungsi hutan membuat konflik dengan manusia terjadi,” kata dia kepada ANTARA.
Sebanyak delapan kantong gajah di Riau memprihatinkan dan berpeluang terjadi kepunahan lokal.
Di Provinsi Riau terdapat delapan kantong gajah yang menjadi habitat asli bagi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kondisinya kini kian memprihatinkan karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, hingga permukiman.
“Kantong gajah sudah banyak beralih fungsi, berbentuk hutan makin sedikit, karena menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Hal inilah yang membuat konflik gajah dengan manusia tidak bisa dihindari dan makin sering terjadi,” katanya.
Berdasarkan survei WWF pada 2018, populasi gajah di sejumlah kantong tinggal segelintir dan berpeluang terjadi kepunahan lokal.
Seperti di kantor gajah Rokan Hilir, berdasarkan survei tinggal satu individu tersisa, begitu juga di kantong Batang Ulak. Di kantong Mahato-Barumun tinggal tiga individu dan di kantong gajah Balai Raja hanya lima individu.
“Seperti di Mahato itu tiga individu yang tersisa semuanya betina, tidak ada peluang reproduksi lagi dan bisa terjadi apa yang disebut 'local extinction' (kepunahan lokal),” katanya.
Populasi gajah sumatera masih cukup banyak di kantong gajah Giam Siak Kecil, yakni mencapai 50-60 individu. Di kantong Tesso Nilo Utara 30-38 ekor dan Tesso Nilo Tenggara 50-60 ekor.
Hanya saja, kondisi kantong Tesso Nilo juga memprihatinkan sehingga rawan terjadi konflik dengan manusia, seperti yang kini terjadi di Indragiri Hulu
Ia mengatakan perlu ada upaya bersama agar menghindari atau minimal menekan konflik gajah dengan manusia.
Pemegang izin konsesi perkebunan dan kehutanan di area kantong gajah perlu menerapkan manajemen perlindungan terhadap satwa bongsor itu.
“Konflik gajah dengan manusia akan terus terjadi karena kantong gajah makin sempit,” ujarnya.
Upaya Penyelamatan
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau kini berupaya menyelamatkan habitat gajah sumatera yang nyaris habis, salah satunya di Hutan Talang Kabupaten Bengkalis.
Hutan Talang yang tersisa adalah Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. Namun, kondisinya memprihatinkan karena banyak berubah menjadi permukiman, kebun kelapa sawit, bahkan ada perkantoran pemerintahan.
Ancaman perubahan fungsi datang dari Pemkab Bengkalis yang berencana membangun jalan lingkar barat Duri, dengan rutenya bakal membelah Hutan Talang tersisa melintasi area Chevron.
“Total Hutan Talang yang tersisa di sana itu tinggal 350 hektare, itu termasuk kawasan konservasi dan hutan yang masuk area PT Chevron,” kata Kepala BBKSDA Riau Suharyono.
Pihaknya akan berusaha menolak rencana tersebut karena hamparan Hutan Talang yang tersisa juga menjadi daerah lintasan gajah sumatera binaan BBKSDA di Balai Raja.
“Tiga ekor gajah Balai Raja juga kerap melintas di sana sampai ke kompleks Chevron. Kalau nanti dibangun jalan, saya yakin Hutan Talang akan habis karena muncul nanti warung-warung juga,” ujarnya.
Seharusnya, ujarnya, pembangunan jalan lingkar itu melingkari area Hutan Talang yang tersisa, bukan membelahnya.
“Kami berencana untuk menjadikan hamparan Hutan Talang yang pusat konservasi gajah sumatera di Riau,” ujarnya.
Penolakan proyek jalan di Hutan Talang juga terus disuarakan oleh aktivis lingkungan Riau. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Sahabat Talang dua kali menggelar aksi kampanye penyelamatan hutan tersebut pada akhir Mei lalu. Sahabat Talang merupakan kumpulan dari berbagai komunitas di Duri, yaitu HIPAM, RSF, Serdadu Alam, Lalang Adventure, Vespa Besi Tua Duri, PADU, dan GMR.
“Kami tidak menentang pembangunan, tapi kami ingin pemerintahan Bengkalis mencari solusi lain agar hutan satu-satunya habitat gajah Duri itu bisa dipertahankan,” kata koordinator kampanye, Bobi.
Para aktivis meminta adanya mediasi dengan Pemerintah Kabupaten Bengkalis sebelum Hutan Talang dibelah menjadi jalan lingkar. Tanpa ada komunikasi kedua pihak, pembangunan akan merugikan kelestarian alam.
Belum Ada
Sampai sekarang belum ada catatan proyek pembangunan yang memperhatikan kelangsungan hidup satwa dilindungi, kecuali rencana proyek Jalan Tol Pekanbaru-Dumai.
Sebanyak enam perlintasan khusus untuk gajah sumatera akan segera dibangun di proyek Jalan Tol Pekanbaru-Dumai agar keberadaan satwa dilindungi itu bisa tetap bebas berkeliaran di habitatnya dan tidak mengganggu pengguna jalan.
“Ada enam perlintasan gajah. Satu di Sungai Tekuana, dan lima lainnya di Seksi 4 dekat dengan Suaka Margasatwa Balai Raja,” kata Pimpinan Proyek Pekanbaru-Dumai Seksi 3-4 dari PT Hutama Karya (Persero) Dinny Suryakencana.
Selama proses pembangunan, pekerja di lapangan beberapa kali melihat gajah sumatera liar secara langsung maupun jejak-jejaknya di lokasi pembangunan perlintasan gajah.
Tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131,48 kilometer bagian dari Tol Trans Sumatera yang merupakan program strategis nasional pada kepemimpinan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebenarnya sudah mendesain agar jalan tol dibangun tidak melalui kawasan konservasi, namun ternyata jalan tol tetap melewati daerah jelajah gajah sehingga perlu jalur perlintasan khusus.
Ia menjelaskan perlintasan pertama di Sungai Tekuana lokasinya di Seksi 2 dan tidak jauh dari Pusat Latihan Gajah Minas di Kabupaten Siak. Di kawasan itu terdapat sedikitnya 13 gajah sumatera liar.
Sebanyak lima perlintasan lainnya di Seksi 4, masing-masing di STA 61 atau 61 kilometer dari Pekanbaru, STA 69+154, STA 71+992, STA 73, dan STA 74+400.
Ukuran terowongan gajah bervariasi, ada yang mempunyai tinggi batas ruang 4,5 hingga 11 meter dan lebar mulai dari 25 hingga 45 meter. Perlintasan gajah ini belum masuk proses konstruksi karena masih finalisasi desain yang melibatkan instansi terkait, seperti BBKSDA Riau.
Jembatan yang dibangun akan sesuai dengan habitat alaminya. Ada beberapa tanaman yang ditanam di terowongan yang dibangun agar gajah merasa tidak terganggu ketika melintas di tempat itu. Gajah-gajah tersebut akan melewati terowongan di bawah jalan tol.
“Ini khusus disiapkan untuk gajah, tidak seperti perlintasan jalan desa yang diperkeras. Ini kita usahakan seperti alaminya tak ganggu kontur alaminya,” ujarnya.
Infrastruktur ini tidak hanya dibangun agar ramah untuk penggunanya melainkan juga untuk menghormati dan menjaga kehidupan satwa di sekitarnya.
Ternyata bangsa ini bisa melakukan pembangunan dengan tetap memberi ruang untuk satwa di habitatnya. Selayaknya hal ini dilanjutkan.