Medan, 27/4 (Antara) - Konflik pertanahan yang terjadi di Kota Medan dan sekitarnya selama ini disebabkan pelaku usaha dan pembuat kebijakan agraria melupakan akar sejarah yang ada.
Dalam dialog yang diselenggarakan salah satu stasiun radio di Medan, Senin, Kuasa Hukum Kesultanan Deli, Abdul Hakim Siagian mengatakan, banyak pihak yang tidak menyadari jika Kesultanan Deli merupakan pemilik sejumlah lahan yang dipergunakan sebagai lokasi bisnis selama ini.
Disebabkan ketidaktahuan tentang sejarah tersebut, banyak pelaku usaha yang tidak meminta izin untuk menggunakan tanah milik Kesultanan Deli itu sebagai lokasi bisnis.
Ia menjelaskan, proses peminjaman tanah milik Kesultanan Deli tersebut mulai dilakukan sejak masa penjajahan Belanda sebagai lokasi perkantoran dan berbagai aktivitas lain.
Peminjaman tersebut berlanjut hingga awal kemerdekaan dengan konsep nasionalisasi yang menjadikan berbagai aset kolonial selama ini menjadi milik pemerintah RI.
Kesultanan Deli mengizinkan peminjaman tersebut dengan persyaratan bahwa tanah-tanah tersebut dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan menunjang aktivitas pemerintahan.
Ia mencontohkan, peminjaman lahan di sekitar Lapangan Merdeka kepada "Deli Maatschappij" yang kemudian berubah menjadi Perusahaan Jawatan kereta Api (PJKA) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung sarana perkeretaapian.
"Sepanjang pemanfaatan tanah itu untuk kesejahteraan, Kesultanan tidak pernah mempermasalahkan," katanya.
Namun Kesultanan Deli tidak dapat membiarkan jika pemanfaatan lahan-lahan yang dipinjamkan selama ini dialihkan, terutama untuk aktivitas komersil.
Masalah mulai muncul karena adanya proses menyamaratakan landasan hukum antara lahan-lahan milik umum dengan tanah yang dipinjamkan Kesultanan Deli.
"Disitu ada masalah karena adanya penyamarataan hukum yang tidak tepat," kata Abdul Hakim. ***2***
(T.I023/B/F.C. Kuen/F.C. Kuen)