Padangsidempuan (ANTARA) - Oleh: Dr. Latip Kahpi
Dalam tata kelola pemerintahan daerah, kualitas sumber daya manusia bukan sekadar faktor pendukung—ia adalah penentu keberhasilan pembangunan. Jabatan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan titik kunci dalam rantai birokrasi. Mereka adalah pengambil keputusan, penanggung jawab anggaran, hingga motor eksekusi kebijakan publik. Maka, penempatannya seharusnya berdasarkan meritokrasi, bukan atas dasar kedekatan emosional, afiliasi politik, atau loyalitas semu.
Namun, realitas hari ini seringkali berbicara lain. Fenomena di mana “orang dekat” diprioritaskan dibanding “orang tepat” masih menjadi penyakit kronis dalam birokrasi daerah. Kedekatan relasional seolah menjadi tiket cepat menuju jabatan strategis, sementara keahlian dan rekam jejak profesional justru terpinggirkan.
Kasus terbaru yang menyeret nama Topan Ginting, Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, menjadi cermin buruk dari praktik ini. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara yang mengguncang opini publik. Tak sedikit pihak menyoroti kedekatannya dengan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang juga menantu Presiden ke-7 RI. Bahkan, Bobby sendiri secara terbuka mengakui kedekatan tersebut.
Publik tentu berhak bertanya: apakah jabatan strategis yang diemban Topan Ginting lahir dari pertimbangan profesional, atau karena hubungan personal yang terlalu “hangat”? Apalagi jejak kebersamaan keduanya dalam beberapa agenda penting, seperti pertemuan dengan KSAD, menunjukkan bahwa hubungan itu lebih dari sekadar relasi formal.
Praktik semacam ini mengancam sendi-sendi reformasi birokrasi. Ketika jabatan diberikan bukan karena kompetensi, maka risiko penyalahgunaan kewenangan meningkat tajam. Efek lanjutannya adalah program yang stagnan, pemborosan anggaran, dan rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pembangunan akhirnya mandek, dan masyarakat menjadi korban utama dari tata kelola yang disfungsional.
Padahal, jika kepala daerah berani menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat, maka tata kelola akan berjalan lebih efektif. Misalnya, seorang kepala Dinas PUPR semestinya berasal dari latar belakang teknik sipil, memiliki pengalaman panjang dalam infrastruktur publik, serta paham prinsip manajemen proyek dan pengelolaan anggaran. Bukan sekadar “teman dekat” yang bisa diajak bicara ringan dalam rapat-rapat informal.
Inilah saatnya para kepala daerah berhenti menjadikan birokrasi sebagai arena patronase politik. Indonesia tak kekurangan talenta dan profesional mumpuni. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menempatkan meritokrasi di atas kompromi. Jika prinsip ini dijalankan, maka tidak hanya birokrasi yang lebih sehat, tetapi kepercayaan publik terhadap negara juga akan tumbuh.
Kasus Topan Ginting harus menjadi pelajaran bersama, bukan hanya bagi Sumatera Utara, tetapi juga seluruh daerah di Indonesia. Jangan sampai birokrasi dijadikan panggung bagi loyalitas yang menyesatkan. Kepala daerah yang visioner adalah mereka yang lebih memilih integritas daripada ikatan pribadi, dan lebih mengutamakan kompetensi daripada kedekatan.
Tanpa itu semua, mimpi besar pembangunan hanya akan tinggal slogan. Dan rakyat, seperti biasa, harus menanggung akibatnya.
Dr. Latip Kahpi (Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen Komunikasi Politik dan Pasca Sarjana UIN Syahada Padangsidimpuan)