Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengatakan tetap menolak kebijakan pemerintah yang tetap menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Dari awal Komisi IX, baik di internal, di rapat gabungan antar komisi, sampai rapat dengan Ketua DPR menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Terakhir, Mahkamah Agung juga atas desakan rakyat menolak Perpres yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata Ribka saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Kemenkeu sebut kenaikan iuran BPJS telah pertimbangkan putusan MA
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Komisi IX DPR sebenarnya berharap pemerintah tinggal menjalankan saja.
Namun, tanpa diduga pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang disebut-sebut telah menjalankan putusan MA tersebut, tetapi tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp3,1 triliun untuk subsidi peserta BPJS kelas III
"Dengan adanya wabah COVID-19, rakyat sedang terhimpit. Ada yang kehilangan pekerjaan. Ada yang bingung dengan kontrakan rumah. Jangan karena masyarakat sudah diberi sembako, lalu iuran BPJS Kesehatan tetap dinaikkan," tuturnya.
Ribka menilai Perpres 64 Tahun 2020 terbit dengan memanfaatkan pembatasan jarak akibat pandemi COVID-19 sehingga tidak ada pertemuan-pertemuan fisik dengan DPR.
"Pertemuan-pertemuan dengan DPR hanya bisa dilakukan terbatas. Jangan itu menjadi kesempatan untuk mengesahkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Pembahasan omnibus law juga saya protes karena seperti memanfaatkan situasi," katanya.
Meskipun peraturan presiden dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah domain pemerintah, Ribka mengatakan tidak ada salahnya berkonsultasi dengan DPR.
"Jangan-jangan nanti malah pada tidak mau bayar iuran, malah tambah repot. Yang kelas I dan II saja ada yang mau turun kelas. Ini masyarakat sudah mau gotong royong malah dipersulit lagi," katanya.*