Khairul Arief (ANTARA) - Sebagai sebuah ajang kontestasi demokrasi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) tentunya tidak lepas dari berbagai dinamika dan polemik. Tidak terkecuali dengan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Perlu dijelaskan bahwa pengertian ASN disini adalah pegawai pemerintah yang dulunya dikenal dengan istilah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dijadwalkan akan dilaksanakan pada 27 November 2024 yang akan datang. Berbagai tahapan sudah dilewati dengan semua mekanisme dan aturan yang berlaku.
ASN tentunya juga menjadi salah satu komunitas yang tidak bisa dipungkiri pasti akan merasakan dampak dari ajang demokrasi tersebut. Khususnya ASN. Karena TNI dan POLRI sudah tidak memiliki hak politik selama masih aktif, maka ASN menjadi salah satu komoditi politik yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai basis dan kantong-kantong suara.
Sejarah pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang ini terbit pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Presiden Indonesia ke-enam. Pada era sebelum itu, Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara tidak langsung.
Defenisi pemilihan secara langsung adalah pemilihan yang dilakukan dengan mengikut sertakan rakyat untuk menentukan pilihan siapa yang akan menjadi kepala daerah sesuai dengan daerah masing-masing. Pengertian pemilihan secara tidak langsung tersebut adalah dengan cara dipilih atau ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pada era awal kemerdekaan, pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Dalam aturan tersebut jelas digambarkan bahwa Gubernur diangkat oleh Presiden setelah mendapatkan pengajuan nama-nama dari DPRD Provinsi, sementara Bupati akan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapatkan pengajuan nama-nama dari DPRD.
Perkembangan selanjutnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini lebih jelas mengatur bahwa Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan ditetapkan oleh Presiden, sedangkan Bupati dipilih oleh DPRD Kabupaten dan ditetapkan oleh Menteri dalam Negeri. Bila aturan sebelumnya DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten hanya mengajukan nama-nama calon, tapi UU No 1 Tahun 1957 jelas mengamanahkan bahwa DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten lah yang langsung menentukan Gubernur dan Bupati. Undang-Undang ini sangat memberikan kewenangan penuh kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
Selanjutnya, lahirlah Undang-Undang Nomor Nomor 5 Tahun 1974 sebagai pengganti dari Undang-Undang sebelumnya. Pada Undang-Undang ini terlihat kemunculan kembali keterlibatan pemerintah atasan pada penentuan Gubernur dan Bupati. Undang-Undang ini mengamanahkan bahwa DPRD Provinsi menentukan Gubernur setelah adanya kesepakatan bersama dengan Presiden, dan DPRD Kabupaten menentukan Bupati setelah adanya kesepakatan bersama dengan gubernur.
Bila pada Undang-Undang sebelumnya terlihat kewenangan mutlak di tangan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 kewenangan pemerintah atasan menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan Gubernur dan Bupati.
Dari UU No 48 Tahun 1948 sampai dengan UU No 5 Tahun 1974 sudah ada dua era yang berbeda, yaitu Era Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden dan Era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto sebagai Presiden. Dan dapat disimpulkan bahwa Orde Lama dan Orde Baru belum menerapkan sistem pemilihan langsung dalam menentukan dan menetapkan Gubernur dan Bupati.
Pada era awal reformasi, lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menetapkan bahwa pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui proses pemilihan. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Yang artinya bahwa Pemilihan Kepala Daerah tetap dikendalikan oleh DPRD.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Bagian Kedelapan berisi tentang Pemilihan Kepada Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Paragraf Kesatu tentang Pemilihan, pasal 56 ayat 1 menjelaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Undang-Undang inilah yang menjadi awal mula terjadinya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Penggunaan istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah juga terlihat jelas pada pasal 57 yang berisi Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggungjawab kepada DPRD.
Inilah titik awal dari sisi pembangunan demokrasi di Indonesia untuk Pemilihan Kepala Daerah. Secara bertahap Pemilihan Kepala Daerah dimulai sejak tahun 2005, dilanjutkan pada tahun 2007, tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020 dan selanjutnya akan dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU pada 27 November Tahun 2024 nanti.
Sejarah Netralitas ASN Pada 25 September 1945, Soekarno membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Soekarno memutuskan bahwa pegawai-pegawai Indonesia dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi Pegawai Negara Republik Indonesia dengan penuh kepercayaan bahwa mereka akan menumpahkan segala kekuatan jiwa dan raga untuk keselamatan Negara Republik Indonesia (Kompas, edisi 22 Agustus 2020). Ini menunjukkan bahwa keberadaan pegawai pemerintah sudah ada sejak Indonesia merdeka.
Netralitas ASN adalah fenomena yang selalu muncul dalam setiap pergolakan politik dan menjadi topik dalam banyak diskusi. Pegawai Negeri Sipil yang tergabung dalam sebuah sistem birokrasi dirasakan memiliki kekuatan tertentu untuk bisa menjadi sarana bagi tujuan-tujuan politik tertentu.
Netralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak atau bebas. Muh. Amin (2013) netralitas dapat didefenisikan sebagai prilaku tidak memihak, atau tidak terlibat yang ditunjukkan birokrasi pemerintahan dalam masa kampanye kandidat kepala daerah di ajang pilkada baik secara diam-diam maupun terang-terangan (N. Mokhsen, Septiana Dwiputri, Syauqi Muhammad, Nandra Hutomo dalam Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara, 2019).
Orde lama dan orde baru tidak membuat larangan bagi ASN untuk terlibat secara langsung dalam perhelatan politik. Dan saat itu tidak jarang kita temukan bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi salah satu anggota DPR. Akan tetapi demokrasi Indonesia terus menerus mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik.
Larangan bagi ASN untuk terlibat langsung dalam politik muncul pada era reformasi tepatnya di tahun 1999. Dengan munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pada pasal 3 ayat 1 berbunyi Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas Negara, Pemerintahan dan pembangunan.
Selanjutnya dalam ayat 2 dijelaskan bahwa dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lebih eksplisit lagi dijelaskan dalam ayat 3 bahwa Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Inilah dasar hukum yang pertama untuk sebuah netralitas ASN yang terus berkembang secara regulasi dan aturan yang mewajibkan atas netralitas ASN.
Netralitas ASN memang selalu menjadi salah satu perhatian publik dalam sejarah demokrasi. Fakta tetap menunjukkan bahwa netralitas ASN belum sepenuhnya bisa dilaksanakan dengan maksimal dan berkesinambungan. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik dan birokrasi adalah ibarat dua sisi mata uang yang saling mengikat dan tidak bisa dipisahkan. Antara regulasi dan kenyataan sebenarnya bisa dianalogikan kepada dua petuah, yaitu, pandai-pandailah meniti buih, selamat badan sampai ke seberang, Sepandai pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.
)***Penulis adalah Sekretaris Badan Kesbangpol Pemko Padangsidimpuan.
Pilkada dan netralitas ASN dalam perspektif sejarah
Senin, 21 Oktober 2024 16:12 WIB 7165