Medan (ANTARA) - Perlu waktu satu setengah jam untuk mencapai Pematang Siantar dari Medan. Satu setengah jam lebih cepat sebelum jalan tol ruas Tebing Tinggi-Sinaksak dioperasikan 10 September 2024.
Medan dan Siantar adalah dua kota terbesar di Sumatera Utara. Jaraknya hampir sejauh Jakarta-Bandung.
Letaknya strategis sekali karena menghubungkan pantai timur dan pantai barat Sumatera Utara, sekaligus antara bagian utara provinsi itu dengan bagian selatannya. Kota ini juga diingat publik sebagai pintu gerbang ke kawasan wisata Danau Toba.
Banyak hal positif yang melukiskan kota ini menarik untuk masuk daftar layak kunjungan wisatawan. Selain kaya akan sejarah yang andil membentuk negara ini, Siantar juga dikenal karena orang-orang besar yang dilahirkannya.
Adam Malik, wakil presiden ketiga yang juga mantan menteri luar negeri dan wartawan pendiri lembaga pers tertua di negeri ini, LKBN Antara, lahir di Siantar.
Demikian pula dengan komponis Cornel Simanjuntak yang menggubah lagu "Maju Tak Gentar", dan banyak lagi, termasuk Syamsul Anwar Harahap yang melegenda dalam cabang olahraga tinju.
Di kota itu pula, pertandingan tinju PON Aceh-Sumatera Utara 2024 diadakan. Alasan utama memilih kota ini adalah karena Siantar dikenal sebagai gudang petinju di Sumatera Utara dan juga Indonesia.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ingin melekatkan kembali status itu kepada Siantar dengan menjadikannya sebagai salah satu venue PON 2024.
Halaman berikut: Sensasi menjelajahi Jalan Sutomo Sejak 1939
Kota ini menarik untuk ditelusuri. Dan jika Anda sudah di kota ini, sempatkanlah menjelajahi Jalan Sutomo.
Ini bukan jalan sembarang jalan, karena merupakan jalan utama di Siantar yang penuh kenangan dan situs jajanan utama di kota ini.
Omong-omong soal jajanan, sebagaimana daerah lain di Sumatera Utara, Anda tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, karena hampir segalanya berharga murah di sini, termasuk Kedai Kopi Sedap Siantar, yang terkenal sampai ke mana-mana.
Kedai kopi ini menyediakan dua macam pilihan kopi, yakni kopi hitam dan kopi susu, tetapi khusus kopi hitam dihidangkan dalam cangkir yang klasik yang umurnya bisa sama tuanya dengan kedai itu.
Kopi yang diracik turun temurun sehingga membawa rasa khas yang tak ditemui di tempat lain itu, biasanya dihidangkan bersama roti bakar yang juga dimasak dalam cara khusus, yang menjadikannya benar-benar khas Siantar.
Tak ada yang tidak tahu kedai ini di Siantar, terutama karena kedai ini sudah berdiri jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya pada 1939.
"Saya dari generasi ketiga yang mengelola kedai ini," kata Budiman, yang meminta disebut namanya sebagai "Budiman Sedap".
Anak cucu Budiman kini mengelola kedai yang selalu padat pengunjung saat Sabtu atau Minggu dan saat liburan itu.
Nuraini Tanjung, yang tinggal di kota itu, membagikan kesaksiannya mengenai kedai ini, bahwa racikan resep baik untuk minuman kopi maupun roti bakar di kedai ini, sungguh tiada duanya.
Dan itu salah satu yang membuat kedai kopi ini nyaris tak pernah sepi dari pengunjung, persis seperti ANTARA lihat saat mengunjungi Minggu sore kemarin.
Orang-orang yang rela antre di sini tak cuma dari Siantar, tapi juga Medan dan kota-kota sekitarnya.
Sesekali keluar omongan bernada bentakan antar-karyawannya, mungkin karena emosi. Tapi ini kan Sumatera Utara, tanah Batak, yang memiliki gaya berbicara keras dan lantang, jadi jangan cepat menyimpulkan itu sebagai pertengkaran.
Tapi keadaan itu tak pernah menyurutkan orang untuk datang ke sana, bahkan rutin datang ke sini
"Sudah jadi tradisi kami mampir dulu ke sini setelah berlibur di Toba," kata seorang pria Tionghoa yang mengenalkan dirinya dengan satu nama saja, Acong.
Halaman berikut: Kota toleran nan inklusif
Toleran nan inklusif
Sudah pasti bukan hanya kopi dan roti bakar legendaris di Siantar itu yang layak Anda datangi, karena ada banyak tempat di Siantar yang wajib Anda kunjungi, termasuk suasana eksotis kota ini.
Eksotisme ini salah satunya terlihat dari kota tua yang akrab dengan peninggalan era kolonial Belanda, seperti ditemui di banyak tempat di Indonesia, termasuk Braga di Bandung, Kota Tua di Jakarta, atau kota lama di Semarang.
Bedanya, keadaan di Siantar tak begitu terawat, walau rapat dihuni penduduknya yang di antaranya menjejak sampai orang-orang dari masa penjajahan.
Pusat kotanya sendiri dipenuhi bangunan dan tempat bersejarah. Tempat-tempat ini berkumpul nyaris mengitari sebuah lapangan yang disebut Lapangan Adam Malik.
Lapangan ini juga layak dikunjungi karena ikatannya yang kuat dengan sejarah bangsa ini, khususnya Adam Malik, yang pemikiran-pemikiran cemerlangnya mempengaruhi jurnalisme, diplomasi dan pendekatan berpemerintahan di negeri ini.
Lebih dari itu, lapangan ini adalah juga simbol toleransi dan keinklusifan di mana semua orang dari berbagai suku dan agama hidup berdampingan.
Lapangan Adam Malik adalah etalase sederhana untuk toleransi dan hidup inklusif di Siantar, juga Sumatera Utara.
Di lapangan itu, setiap Sabtu, Minggu, dan hari libur, selalu dipenuhi orang. Mereka berlari mengitari lapangan, bersepeda, berlatih menari dan menggambar, atau sekedar kongkow dengan kerabat dan kenalan.
Lapangan ini sempat ditutup karena renovasi yang menghabiskan dana Rp4,5 miliar beberapa waktu sebelum dibuka kembali awal Maret 2024.
Setelah direnovasi, lapangan ini semakin bagus dan menjadi sudut terfavorit untuk menikmati kota ini, sampai malam hari ketika air mancur warna warni menjadi pemandangan utama di sana.
Halaman berikut: Gedung Juang 45
Gedung Juang 45
Sayangnya, ada juga bagian eksotis kota ini yang terbengkalai, padahal tempat ini tidak saja bersejarah, tapi kaya dengan jejak perjuangan dan nilai sosial yang turut membentuk nilai di kota ini.
Salah satu tempat yang terbengkalai itu adalah Gedung Juang 45, yang terletak di Jalan Merdeka, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat.
Tempat ini sangat lekat ikatannya dengan tidak hanya perjuangan yang menyertai pembentukan kota ini, tapi juga menjadi salah satu simbol nasionalisme dan patriotisme di Indonesia.
Memang tempat ini warisan kolonial seperti Hotel Schomper di pusat kota Jakarta masa lalu semasa masih bernama Batavia, dan kini menjadi Gedung Joang 45 versi Jakarta. Tapi di tempat inilah mozaik-mozaik peristiwa yang turut membentuk kota ini, disatukan menjadi ciri Siantar.
Kini gedung bernilai sejarah yang tinggi itu sepertinya tidak bertuan yang rusak parah di mana-mana, tak hanya bagian bagian luarnya, tapi juga bagian dalamnya.
Bagian depan gedung ini menggendong sebuah patung ikonik yang melukiskan heroisme bangsa ini selama mempertahankan kemerdekaan.
Gedung ini pula yang menjadi saksi berdirinya Kota Pematang Siantar, ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum mengubah tempat yang dulunya menjadi pusat Kerajaan Siantar itu menjadi Kota Pematang Siantar pada 1917.
Gedung ini pernah menjadi markas tentara Hindia Belanda (KNIL), tapi juga menjadi basis perlawanan tentara Republik Indonesia dalam mempertahankan negara baru itu dari serangan Sekutu dan NICA Belanda.
Di masa kemudian setelah itu, gedung itu tetap penting, sampai kemudian terbengkalai seperti terakhir dilihat ANTARA sore kemarin menjelang malam itu setelah enam jam berada di kota eksotis ini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Enam jam mengesankan di Siantar
Enam jam penuh kesan di Kota Siantar
Senin, 16 September 2024 19:39 WIB 11652