Medan (ANTARA) - Problematika sebuah negara yang majemuk dari sisi agama seperti Indonesia adalah bagaimana pemerintah bersama-sama dengan rakyat membangun suasana harmoni yang dinamis dan damai.
Dan, pada saat yang sama, memberi jaminan terhadap semua pemeluk agama yang beragam untuk mengekspresikan keanekaragamannya secara bebas tanpa ada paksaan dan tekanan terlebih lagi intimidasi dari pihak manapun.
Dua ikhtiar penting di atas dalam membangun harmoni yang berkelanjutan tidak mudah untuk dilaksanakan.
Terdapat sejumlah kendala, seperti persoalan pemahaman intern umat beragama terhadap ajaran agamanya, pemahaman terhadap agama orang lain dan juga faktor-faktor luar yang kerap menjadi picu terjadinya ketegangan bahkan konflik di antara pemeluk agama.
Upaya untuk meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama sendiri atau agama orang lain menjadi penting dan dapat menjadi basis sikap beragama yang tidak saja simpatik tetapi juga empati.
Dalam konteks inilah, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia VII yang salah satunya melahirkan fatwa hukum salam lintas agama menjadi satu bentuk upaya untuk meningkatkan pemahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya yang berhubungan dengan pemeluk agama lain.
MUI tentu memiliki kewajiban normatif untuk menjaga akidah umatnya agar tetap berada dalam koridor syariat. Namun tidak dapat dipungkiri, apa yang dilakukan komisi fatwa adalah sebuah ijtihad untuk menemukan hukum terhadap persoalan-persoalan yang secara eksplisit tidak disebut di dalam nash.
Produk ijtihad itu menjelma ke dalam bentuk fatwa yang dalam kajian hukum Islam, fatwa tidak mengikat--berbeda dengan qanun--bahkan bagi orang yang meminta fatwa sekalipun.
Terlepas dari fatwa tentang salam lintas agama di atas, kita perlu terus melakukan ijtihad atau upaya intelektual untuk menemukan produk hukum yang tidak abai terhadap realitas bangsa Indonesia yang plural.
Sebagaimana dimaklumi bersama, Indonesia adalah negara yang sangat plural dari sisi suku, agama dan ras. Keragaman yang ada dapat menjadi modal yang sangat berharga untuk membangun Indonesia yang tidak saja maju dari sisi ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menjadi bangsa yang rakyatnya hidup dalam rukun, harmoni dan damai.
Namun pada saat yang sama, pluralitas bangsa dapat menjadi ancaman yang serius bagi keutuhan bangsa.
Dalam konteks inilah, kita memiliki banyak contoh yang masih hadir dalam memori kita, betapa konflik antarumat beragama pernah terjadi di Indonesia bahkan sampai memakan korban jiwa.
Pilihannya tentu pada kita, menjadikan keragaman ini sebagai modal besar untuk membangun Indonesia atau membiarkannya menjadi faktor penghambat. Kita tentu sepakat, yang disebut terakhir bukanlah pilihan yang bijak.
Hemat saya kepentingan kita yang paling besar adalah bagaimana menjadikan Indonesia sebagai rumah besar yang nyaman dan membahagiakan bagi seluruh anak bangsa yang berbeda-beda keyakinan. Oleh karena itu, apapun yang menjadi sebab terganggunya kerukunan dan keharmonisan hidup bersama sedapat mungkin harus dihindari.
Dalam konteks salam, ada dua hal yang perlu diperhatikan dengan baik. Adapun yang pertama adalah, memberi salam atau mendoakan orang berbeda agama apakah untuk kebaikan hidupnya atau agar ia mendapatkan petunjuk.
Dalam hal ini, terdapat hadis Nabi yang menunjukkan Rasulullah mendoakan Daus agar memperoleh hidayah. Padahal pada saat itu, sahabat justru meminta Nabi untuk mendoakan keburukan bagi Daus. Nabi tidak memenuhi permintaan sahabatnya justru Nabi mendoakan hal sebaliknya.
Agaknya ini juga dapat menjadi dasar bagi umat Islam untuk menyampaikan salam secara Islam kepada orang berbeda agama agar orang tersebut memperoleh kedamaian, Rahmat dan keberkahan.
Untuk hal yang pertama tentu tidak ada persoalan serius.Masalah yang saat ini sedang banyak dibicarakan adalah, orang Islam yang mengucapkan salam lintas agama kepada saudara yang berbeda agama. Sebagaimana kita ketahui setiap agama memiliki salamnya sendiri-sendiri.
Di dalam Islam, salam itu "Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa barakatuh" adalah doa bagi sahabat, saudara atau sesama umat Islam atau kepada orang berbeda keyakinan.
Lalu di dalam Kristen dan juga Katolik terdapat kalimat "Salam Sejahtera" atau "Shalom" juga bermakna keselamatan dan kesejahteraan.
Di dalamnya juga terkandung doa kesalamatan. Di dalam Agama Hindu salam yang kerap diucapkan adalah, “Om Swastyastu” yang merupakan Bahasa Sansekerta yang berarti "Ya Tuhan, semoga semua orang selalu dalam keadaan baik, sehat dan selamat".
Sedangkan Buddha menggunakan salam “Namo Budhdhaya” yang bermakna “Terpujilah Buddha”. Sedangkan di dalam Konghucu dikenal salam dengan ucapan “De Dong Tian” yang berarti “Hanya Kebajikan Tuhan yang Berkenan”.
Dari beberapa ucapan salam di atas, jelas bahwa makna salam di dalam berbagai agama sesungguhnya mengandung ucapan-ucapan baik dan doa kepada orang lain.
Selama ini di Indonesia dalam berbagai sambutan yang dihadiri oleh banyak pemeluk agama, ucapan salam lintas agama ini kerap disampaikan para pemimpin atau pejabat.
Ucapan itu tentu saja dimaksudkan untuk menyapa pemeluk agama lain dengan salam yang bagi mereka telah menyatu dengan diri mereka sendiri. Salam yang mereka lebih mengetahui maknanya yang terdalam ketimbang sang pengucap sendiri.
Akan tetapi, justru yang menarik dari ucapan itu adalah pemeluk agama lain merasa dibawa, disapa dan terlibat secara penuh dalam acara tersebut. Mereka benar-benar hadir secara lahir dan batin di dalam acara tersebut.
Dampaknya tentu terbangun suasana yang damai dan penuh persaudaraan. Aura positif ini tentu sangat dibutuhkan dalam membangun institusi, menjalankan program sampai pada akhirnya membangun bangsa.
Sampai di sini, ucapan salam lintas agama sesungguhnya tidak lebih sebuah ikhtiar untuk merawat kerukunan umat beragama di Indonesia. Dan menurut Kementerian Agama RI, dalam tiga tahun terakhir, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mengalami peningkatan.
Pada 2021 sebesar 72,39, indeks naik menjadi 73,09 pada 2022. Sementara pada 2023, indeks KUB kembali naik menjadi 76,02. Menurut Kamaruddin Amin, ada tiga dimensi yang dipotret, yaitu toleransi dengan skor 74,47, kesetaraan dengan skor 77,61, dan kerja sama dengan skor 76,00.
Ini indikator yang sangat baik. Agaknya kita memerlukan penelitian yang lebih jauh tentang efektifitas salam lintas agama dalam membangun keharmonisan berbangsa dan bernegara.
Lewat penelitian itu kita juga akan menemukan apakah salam lintas agama menimbulkan mudarat atau mafsadatnya. Jika disebut salam itu adalah ibadah tentu benar adanya. Namun hemat saya bukanlah ibadah mahdah melainkan ibadah ghairu mahdah. Ibadah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai muamalah.
Namun setidaknya data di atas menunjukkan bahwa ada dampak baik dari praktik baik yang dilakukan para pejabat negara atau pemimpin publik di ruang-ruang plural selama ini, berupa terbangunnya suasana yang harmonis di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, merawat kerukunan umat beragama di Indonesia menjadi keharusan bagi kita semua. Tentu kita setuju bahwa menjaga kerukunan atau meningkatkan toleransi antar umat beragama tidak sampai membawa kita bersikap kompromistis terhadap ajaran agama lain.
Harus dibedakan kompromi dan toleransi. Kompromi mengharuskan kita masuk ke dalam ajaran agama mereka dan terlibat dalam peribadatan yang mereka lakukan.
Begitu pula sebaliknya. Inilah yang pernah ditawarkan kepada Rasulullah SAW, yang akhirnya menyebabkan turunnya Surah al-Kafirun yang salah satu bunyi ayatnya adalah, lakum dinukum waliyadin.
Sedangkan toleransi sebenarnya lebih pada sikap berempati dan mencoba memahami agama lain tanpa harus terlibat jauh dan masuk ke ritual-ritualnya. Sebagai bangsa yang majemuk, ijtihad para ulama, intelektual dan kaum terpelajar untuk menjaga kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara harus tetap dilakukan.
Dialog antar berbagai lembaga mestinya dilakukan tanpa kenal lelah untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
*) Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU).