Jakarta (ANTARA) - Babak final Indonesia Open 2023 dihiasi dengan langit kelabu dan hujan. Langit pun seakan ikut bersedih mengucapkan selamat tinggal untuk Istora Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, yang menjadi tuan rumah dari edisi terakhir turnamen BWF Super 1000 itu.
Ya, Indonesia Open tahun ini merupakan yang terakhir sebelum turnamen itu akan berpindah tempat ke Indoor Multifunction Stadium (IMS/Indonesia Arena) GBK yang memiliki kapasitas dua kali lipat dari Istora, rumah ikonis bagi para pemain dan pecinta bulu tangkis Indonesia dan dunia.
Kiprah Istora sebagai "rumah" bagi salah satu cabang olahraga yang paling dicintai di Tanah Air, dimulai pada ajang Piala Thomas 1961. Sementara untuk Indonesia Open, Istora menjadi tuan rumah pada tahun 1982. Seiring berjalannya waktu, disertai dengan prestasi para pebulu tangkis nasional yang juga naik daun, semakin membuat Istora menjadi ikon tak terpisahkan dari olahraga tepok bulu dari tahun ke tahun.
Kehadirannya sebagai tempat dari berbagai turnamen bergengsi menumbuhkan cita-cita tersendiri bagi para calon atlet yang melihat pemain favoritnya bertanding di Istana Olahraga GBK.
Pun dengan pebulu tangkis muda Indonesia Gregoria Mariska Tunjung dan Jonatan Christie. Keduanya tak menampik kecintaannya akan olahraga ini tumbuh bersamaan ketika mereka sering melihat pertandingan, baik langsung maupun di layar kaca.
“Istora adalah tempat yang ingin saya rasakan saat bertanding dari kecil. Pastinya ini merupakan salah satu kebanggaan tersendiri, sekarang bisa main di sini dengan pendukung yang luar biasa," kata Gregoria.
Sementara bagi Jojo, Istora merupakan tempat yang spesial. Hal itu menyusul kemenangan ikonisnya di Asian Games 2018, hingga pencapaiannya baru-baru ini yang keluar sebagai juara Indonesia Masters 2023.
"Atlet-atlet bulu tangkis di sini sudah merasa Istora sangat ikonik dan kami sudah bermain di sini selama berpuluh-puluh tahun. Auranya, atmosfernya, memang berbeda," ucap pemain tunggal putra peringkat tujuh dunia itu.
Istora di mata dunia
Tak hanya meninggalkan kesan manis untuk para pemain Indonesia, Istora juga menjadi tempat yang begitu indah bagi atlet-atlet bulu tangkis ternama dunia.
Tunggal putra nomor satu dunia saat ini, Viktor Axelsen, mengaku merasa kehilangan dengan beralihnya arena ini ke tempat yang lebih baru dan besar. Stadion berkapasitas 7.000 kursi itu menjadi rumah kedua bagi sang atlet Denmark, menyusul besarnya kecintaan masyarakat Indonesia akan olahraga ini.
Sementara bagi peraih medali emas Olimpiade 2016 Rio Carolina Marin, Istora seakan menjadi sebuah pelukan hangat untuknya, alih-alih sebagai tempat yang mengintimidasi tiap kali ia bertanding melawan perwakilan tuan rumah, atau lawan yang memiliki level setara, bahkan lebih tinggi darinya.
Marin pertama kali mengalami cedera parah pada final Indonesia Masters 2019 ketika ia merobek anterior cruciate ligament (ACL) pertama di lutut kanannya. Sejak saat itu, pemulihan berlangsung dengan berat, hingga akhirnya ia kembali lagi dengan kuat, maju sebagai finalis Indonesia Open 2023, setelah sekian lama tak menginjakkan kaki di turnamen bergengsi pasca-cedera sulit tersebut.
"Penonton di sini membuat saya seakan berada di rumah. Saya sangat beruntung bisa mendapatkan dukungan dari semua orang di sini, yang tak hanya mendukung saat saya di atas, tapi juga saat saya berada di bawah," ucap Marin.
Gemuruh sorak-sorai seperti "IN-DO-NE-SI-A! IN-DO-NE-SI-A!" hingga "Eaa... eaa..." juga meninggalkan kesan tak terlupakan untuk siapa pun yang pernah berlaga di Istora. Dukungan dari masyarakat terus mengalir, terlepas dari siapa saja yang membuat shuttlecock melayang, hingga akhirnya jatuh di sisi lapangan.
Hal itu juga dirasakan pemain-pemain yang lebih muda. Chou Tien Chen dan Loh Kean Yew, dua dari sebuah "klub" yang dibuat penggemar di Indonesia yang dijuluki sebagai "Istora Boys".
"Saya selalu merindukan 'eaa.. eaa..'-nya. Penggemar bulu tangkis di sini adalah yang terbaik," ucap Chou.
Pertama dan terakhir
Tunggal putra unggulan Indonesia Anthony Sinisuka Ginting mengklaim gelar sebagai finalis di Indonesia Open untuk kali pertama di edisi terakhir turnamen perebutan poin kualifikasi Olimpiade 2024 Paris tersebut di Istora.
Gegap gempita di dalam stadion menjadi bentuk semangat dan kebanggaan yang mengalir begitu deras bagi sang atlet. Cinta itu juga tak bertepuk sebelah tangan, karena Ginting juga menunjukkan kemampuan terbaiknya di babak pamungkas saat menghadapi sang juara bertahan.
Terlepas dari hasilnya, semua orang yang memadati Istora kala itu tersenyum, karena tahu perjalanan sang pebulu tangkis Indonesia, yang sesungguhnya akan segera dimulai dan berbunga lebih cantik di kemudian hari.
Jika perjalanan baru bersemi untuk pemain muda, Istora juga menjadi tempat sejumlah atlet senior untuk menggantung raketnya, menyudahi karier profesional yang mungkin sudah berusia lebih dari setengah hidupnya di Bumi.
Atlet bulu tangkis Denmark Hans-Kristian Solberg Vittinghus, memilih mengakhiri perjalananan panjangnya dari tahun 2006 sebagai pemain elite di Istora -- saksi bisu yang melihatnya berpartisipasi di 15 turnamen Indonesia Open, enam Indonesia Masters, dan satu Kejuaraan Bulu Tangkis Dunia.
"Saya sangat menghargai kesempatan untuk berkompetisi di sini untuk terakhir kalinya. Momen kali ini adalah tentang memberikan yang terbaik dan menikmatinya. Saya berterima kasih untuk semua semangat dan dukungannya, dan saya akan kembali lagi suatu hari nanti, meskipun bukan sebagai pemain lagi," kata Vittinghus.
Sinyal untuk mengucapkan selamat tinggal juga disampaikan oleh ganda putra Indonesia, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, yang sudah menapaki lapangan demi lapangan selama bertahun-tahun dan begitu disegani oleh banyak pemain top dunia.
"Ini adalah Indonesia Open terakhir di Istora, dan mungkin juga menjadi yang terakhir buat kami. Kami memiliki banyak kenangan di sini, dari (level) junior sampai sekarang, hingga pernah juara di sini," kata Ahsan.
Berpindahnya turnamen-turnamen bulu tangkis dunia mendatang ke arena yang baru memang terasa berat, mengingat Istora memiliki banyak cerita, selama, setidaknya enam dekade terakhir.
Tapi, seperti namanya, Indonesia Arena tetap berada di tanah yang sama, dengan masyarakat dan atlet-atlet yang sama, yang selalu mencintai bulu tangkis seperti biasanya, untuk waktu yang lama
.
Sayonara, Istora. Sampai bertemu, Indonesia Arena.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sayonara, Istora