Binjai (ANTARA) - Pengamat ekonomi Sumatera Utara, H Syahrir Nasution SE MM menyampaikan sekarang ini kita harus bisa membangkitkan batang terendam potensi ekonomi pedesaan, karena sejak bergulirnya era reformasi hingga sekarang jarang terdengar kita bicarakan ekonomi rakyat desa.
Hal itu disampaikannya di Binjai, Rabu, kalaupun ada tengiang ditelinga kita hanya sebagai pemanis bibir dan penghibur ditelinga saja. Dimana realisasinya sampai saat ini hanya retorika belaka.
Padahal, tujuan reformasi merubah keadaan yang lama kepada perubahan ke arah yang baik dan positif secara evolusioner (bertahap).
Kalau kita kaitkan dengan ekonomi rakyat desa, maka kita akan membicarakan perekonomian desa dalam arti potensi ekonomi yang ada yaitu identik dengan sektor pertanian. Dimana sektor inilah yang menjadi leading sektor di bidang perekonomian negara kita.
"Jika kita merujuk kembali ke pasal 33 dan 34 UUD 1945, jelas disitu tertera bahwa sektor pertanian merupakan comparative advantage bagi perekonomian kita dalam sektor pertanian," katanya.
Namun, setelah 73 tahun merdeka kelihatannya belum dioptimalkan secara menyeluruh perekonomian di bidang pertanian ini, artinya belum kesungguhan dari pemerintah yang benar-benar mau meningkatkan harkat dan martabat kehidupan petani maupun tata niaga pertanian tersebut.
"Sistim ekonomi yang berkembang sampai saat ini masih bersipat liberal kapitalistik (pasar bebas) sekaligus dualistik ekonomi. Hampir 80 persen rakyat Indonesia sumber kehiduoannya di sektor pertanian ini," ujarnya.
Padahal perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, lemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional pasal 33 ayat 4 UUD 1945.
Hal tersebut diatas hanya mimpi disiang bolong, sementara yang dipraktekkan selama ini malah sebaliknya. Hal ini disebabkan terlalu lamanya dijajah juga sistim sosial budaya yang dimiliki oleh bangsa ini dominan feodalistik dan sebagainya.
Inilah yang berlanjut sampai saat ini. Sistim ekonomi dualistik tersebut. Maka terbentuklah jurang pemisah (gap) yang menganga 95 persen penduduk yang sejak awal kemerdekaan hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Sedangkan yang lima persen lagi bertumpk di sektor informal ekonomi.
Sementara sebaliknya lima persen lainnya menguasai, mendominasi 95 persen kekayaan ekonomi negeri ini dari hulu sampai hilir, di darat, laut bahkan di udara di negeri kepulauan terbesar di dunia ini, ungkapnya.
Justru itu, kata Syahrir, secara de jure memang kita yang memilikinya tetapi secara defacto bukan kita yang menguasainya. Alangkah tragisnya mengingat semua ini terjadi di alam kemerdekaan. Ukuran keberhasilan pembangunan bagi penguasa bukan siapa dan seberapa besar hasilnay dinikmati oleh rakyat.
Melainkan berapa dari target yang diinginkan tercapai dalam angka-angka statistik. Bagaimana kedepannya, kuncinya ada pada diri kita sendiri. Pilihannya hanya satu kembali kepangkalan jalan dengan mempraktekkan UUD 1945 Pasal 33 dan Pasal 34 secara jujur dan konsekwen.
Sehingga batang yang terendam, ujar Managing Director Political dan Ekonomic Consulting Institute-Indonesia (PECI) dan Ketua Dewan Pembina Lembaga Pemberdayaan Petani dan Pertanian Sumatera Utara (LP3-SU) itu akan bangkit kembali.