Tapanuli Selatan (ANTARA) - Desa Garoga hari ini bukan sekadar korban banjir bandang. Ia adalah korban dari rangkaian keputusan panjang yang mengabaikan keseimbangan alam. Diapit oleh percabangan Sungai Garoga, desa ini sejak awal berada di ruang rawan. Namun yang mengubah kerawanan menjadi kehancuran adalah rusaknya hutan di wilayah hulu.
Hujan ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi banjir bandang tidak lahir dari hujan semata. Ia lahir dari hutan yang telah kehilangan fungsinya. Di kawasan hulu Sungai Garoga, hutan yang seharusnya berperan sebagai daerah resapan air telah berubah wajah. Berkat izin-izin yang dikeluarkan pemerintah kepada sejumlah perusahaan, kawasan hutan dibuka, ditebang, dan dieksploitasi tanpa kendali yang memadai.
Akibatnya, saat hujan turun dengan intensitas tinggi, air tak lagi diserap tanah. Ia langsung meluncur ke sungai, membawa serta kayu-kayu gelondongan dari kawasan hutan yang rusak, batu, dan lumpur. Sungai Garoga pun berubah menjadi jalur peluncuran bencana. Air bah menerjang desa dengan kekuatan penuh, menghantam permukiman dan membuka alur sungai baru tepat di tengah kampung.
Kayu-kayu besar yang terbawa arus menyumbat jembatan dan alur sungai, membentuk bendungan alami sementara. Ketika bendungan itu runtuh, banjir susulan datang lebih dahsyat. Dalam sekejap, rumah-rumah warga hanyut, dan desa yang selama ini tampak tenang di peta berubah menjadi bagian dari sistem sungai aktif.
Secara hidrologis, perubahan alur sungai ini bukan kejadian sementara. Sungai akan selalu mengingat jalur yang pernah dibukanya. Setiap hujan ekstrem di hulu—selama hutannya masih rusak—akan menghidupkan kembali ancaman yang sama. Normalisasi sungai atau pembangunan tanggul tidak akan mampu melawan sistem alam yang telah dirusak dari hulunya.
Kita harus berani berkata jujur: Desa Garoga tidak lagi layak dihuni. Namun lebih dari itu, kita juga harus berani bertanya: siapa yang bertanggung jawab? Ketika izin-izin eksploitasi hutan dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, maka banjir bandang bukan lagi bencana alam semata, melainkan bencana kebijakan.
Relokasi warga memang mendesak, tetapi itu bukan solusi akhir. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap izin perusahaan perusak hutan dan pemulihan kawasan hulu, Garoga hanya akan menjadi satu dari sekian banyak desa lain yang menyusul. Sungai akan terus mengambil kembali ruangnya, dan korban akan terus berjatuhan.
Garoga adalah peringatan keras. Jika hutan terus dikorbankan atas nama kepentingan jangka pendek, maka banjir bandang akan terus datang—bukan sebagai kejutan, tetapi sebagai konsekuensi yang tak terelakkan.
Oleh: Decky Chandrawan
Aktivis Lingkungan Tapanuli Selatan
