Tapanuli Selatan (ANTARA) - Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) menyoroti dugaan kejahatan lingkungan yang disebut menjadi pemicu utama rentetan bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam enam hari terakhir. FWK mendesak pemerintah segera melakukan penyelidikan menyeluruh atas kerusakan hutan dan aktivitas ilegal yang diduga memperparah dampak bencana.
Koordinator Nasional FWK, Raja Parlindungan Pane, menegaskan bahwa penebangan liar, deforestasi, dan rusaknya kawasan hutan tidak boleh disembunyikan di balik alasan cuaca ekstrem maupun keberadaan Siklon Tropis Senyar. Menurutnya, ada faktor manusia yang berperan besar dalam kerentanan ekologis di berbagai wilayah Sumatera.
“Sumber kedua ini harus diusut tuntas. Banyak korban meninggal. Pelakunya orang, bahkan bisa korporasi,” ujar Raja usai Rakernas FWK di Bogor, dalam siaran persnya yang diterima Minggu (30/11). Ia menilai pemerintah harus berani menindak pihak-pihak yang terlibat dalam penghancuran lingkungan.
Raja menekankan bahwa aparat daerah memiliki tanggung jawab besar dalam pengawasan lingkungan. Ia menyinggung praktik pembiaran aktivitas ilegal yang kerap terjadi. “Jangan tutup mata saat truk kayu gelondongan lewat. Periksa legal atau ilegal,” tegasnya.
Hingga hari keenam bencana, dampaknya tercatat sangat luas. Data Basarnas menunjukkan 35.813 warga dievakuasi, sementara 188 orang meninggal dunia dan 167 masih hilang di tiga provinsi. Sejumlah infrastruktur kritis seperti jembatan, jalan nasional, dan ruas Tol Binjai–Langsa mengalami kerusakan atau terendam banjir.
BNPB, BPBA, BPBD, TNI–Polri, dan tim SAR terus dikerahkan untuk penanganan tanggap darurat. Namun FWK menilai jumlah tim cepat tanggap masih kurang dan perlu ditambah untuk menjangkau wilayah yang terisolasi.
Di Aceh, BPBA melaporkan 119.988 warga terdampak dan 20.759 mengungsi di 16 kabupaten/kota. Sementara di Sumatera Barat, BPBD mencatat 9 korban meninggal di Padang, Agam, dan Pasaman Barat. Di Sumatera Utara, bencana merenggut 43 nyawa dan 88 warga masih hilang di 12 kabupaten/kota.
FWK menilai angka korban dan kerusakan masif tersebut menunjukkan perlunya evaluasi serius terhadap tata kelola lingkungan. Raja menegaskan bahwa bencana tidak boleh semata-mata disalahkan pada alam, melainkan juga pada ulah manusia yang merusak ekosistem.
“Kalau pemerintah tidak tindak pelaku perusakan alam, di mana tanggung jawab negara?” ujar Raja menutup pernyataannya. Ia berharap penyelidikan mendalam segera dilakukan demi mencegah bencana serupa terulang di masa mendatang.
