Medan (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menghentikan penuntutan perkara penganiayaan yang dilakukan tersangka Mawardi terhadap Muhammad Fadil selaku Lurah Perintis, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan, melalui pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice.
“Penghentian penuntutan kasus yang ditangani Kejari Medan tersebut dilakukan setelah adanya kesepakatan damai antara tersangka dan korban,” kata Plh Kasi Penkum Kejati Sumut Indra Ahmadi Hasibuan, SH, MH, di Medan, Rabu (26/11).
Indra menjelaskan, keputusan tersebut ditetapkan oleh Kepala Kejati Sumut Dr. Harli Siregar, SH, M.Hum, bersama Wakajati Sumut Abdulah Noer Denny, SH, MH, dan Aspidum Jurist Precisely, SH, MH, usai melakukan ekspose penanganan perkara kepada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), yang diterima oleh Sekretaris Jampidum di Jakarta.
Permohonan restorative justice dikabulkan setelah melalui penelitian dan verifikasi ketat sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020.
“Proses hukum tidak semata-mata hanya berorientasi pada pemidanaan atau pemenjaraan, tetapi juga bagaimana mengembalikan situasi sosial seperti semula, dan menjaga keberlangsungan hubungan sosial berbasis kearifan lokal masyarakat,” ujar Indra.
Ia menyebut, setelah diterapkannya restorative justice, tersangka dan korban sepakat untuk kembali hidup harmonis dan menjalin hubungan baik sebagai warga masyarakat.
“Penerapan restorative justice tersebut sejalan dengan kebijakan Kejaksaan dalam menciptakan penyelesaian perkara yang lebih humanis dan tidak meninggalkan konflik sosial berkepanjangan,” katanya.

Secara terpisah, Kasi Intelijen Kejari Medan Dapot Dariarma, SH, MH, menjelaskan bahwa tersangka Mawardi dilaporkan atas dugaan penganiayaan terhadap Lurah Perintis Muhammad Fadil, pada Senin (13/10).
Peristiwa terjadi sekitar pukul 09.00 WIB, ketika korban membongkar speed bump (pembatas kecepatan) yang dipasang tersangka karena dinilai mengganggu pengguna jalan, sehingga memicu kemarahan tersangka dan menganiaya korban.
Tersangka disangkakan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Namun, ketika berkas perkara dilimpahkan penyidik kepolisian, Jaksa Peneliti menilai perkara tersebut memenuhi syarat penyelesaian melalui restorative justice.
“Dalam prosesnya, tersangka menyampaikan permintaan maaf, mengakui kekhilafan, dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Sementara korban dengan ikhlas memaafkan tanpa syarat dan bersedia menyelesaikan perkara secara damai,” ujar Dapot.
Ia menambahkan, Kepala Kejari Medan Fajar Syah Putra kemudian mengajukan permohonan restorative justice ke Kejati Sumut, dan setelah dilakukan ekspose, permohonan tersebut disetujui oleh Jampidum Kejagung.
“Kasus tersebut memenuhi syarat penerapan restorative justice karena tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman dari pasal yang disangkakan tidak lebih dari lima tahun, serta kedua belah pihak telah sepakat berdamai tanpa syarat,” tegas Dapot.
