Medan (ANTARA) - Penetapan tujuh komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sumatera Utara disinyalir melanggar tata tertib (tatib) yang ada di DPRD. Pasalnya, saat pengumuman ketujuh nama tersebut, pimpinan Komisi A mengabaikan keberatan dari sejumlah anggota.
Advokat Ranto Sibarani mengatakan pimpinan Komisi A menyebut penetapan komisioner terpilih berdasarkan musyawarah mufakat. Namun, di sisi lain ada sejumlah anggota dewan yang menyampaikan keberatan.
Menurut dia hal itu tidak dapat dikategorikan musyawarah mufakat karena ada keberatan dan protes. Ketika musyarawah mufakat tidak berhasil dicapai, maka tatib DPRD mengatur bahwa pemilihan dilakukan secara voting.
Baca juga: Ombudsman Sumut dalami dugaan kecurangan pemilihan komisioner KPID
"Bukti yang tak terbantahkan secara hukum adalah surat dari Fraksi PDIP DPRD Sumatera Utara tertanggal 27 Januari 2022 dengan Nomor: 117/F.PDI-P/DPRD-SU/1/2022 perihal Penolakan Hasil KPID periode 2021-2024 yang diteken oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut Mangapul Purba dan Sekretaris Fraksi PDIP DPRD Sumut Syahrul Efendi Siregar," ujar Ranto di Medan, Rabu (2/1).
Karena melanggar tatib, Ranto menilai pemilihan atau penetapan calon terpilih sudah masuk kategori perbuatan melawan hukum karena menyangkut pelanggaran tatib DPRD dan UU No 17 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagai pedoman hukum dalam mekanisme pengambilan keputusan di DPRD.
“Jika penetapan tujuh nama komisioner KPID dilakukan tanpa mekanisme yang berlaku dan jika dilakukan pemaksaan kehendak sendiri yang melanggar Tata Tertib yang berlaku bisa dikategorikan perbuatan melawan hukum,” ungkapnya.
Ranto menjelaskan surat penolakan dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut menyatakan bahwa seluruh anggota Komisi A dari Fraksi PDIP yang juga bagian dari 20 anggota Komisi A DPRD Sumut tidak dilibatkan atau tidak dihormati hak-haknya sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam pengambilan keputusan terkait penetapan 7 komisioner terpilih.
“Surat tersebut bukti untuk diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum terkait penetapan tujuh nama Komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 ke Pengadilan Negeri Medan, yang tentu saja dapat diajukan oleh calon komisioner lain yang merasa dirugikan hak-haknya,” tegasnya.
Ranto yang pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi A DPRD Sumut selama empat tahun yaitu 2015-2019 menyebutkan bahwa DPRD hanya mengenal dua mekanisme legal-formal dalam proses pengambilan keputusan secara politik. Pertama adalah musyawarah-mufakat dan kedua melalui voting untuk mengambil keputusan lewat suara terbanyak.
“Jika musyawarah-mufakat gagal dalam pengambilan keputusan, maka pilihan atau opsi terakhir adalah voting yang dilakukan seluruh anggota. Setiap anggota DPRD memiliki hak yang sama karena mereka adalah legislator yang memiliki konstituen. Tak seorang pun boleh diabaikan. Ada istilah ‘one man one vote’. Jika memilih tujuh komisioner, maka setiap anggota DPRD berhak mengusulkan tujuh nama, jadi setiap anggota dewan punya hak yang sama secara politik,” jelasnya.
Ranto menegaskan fungsi Ketua Komisi hanya memfasilitasi pengambilan keputusan tersebut, tidak ada hak istimewa Ketua Komisi dalam pengambilan keputusan.
“Komisi adalah alat kelengkapan yang keputusannya adalah hasil musyawarah mufakat atau pemungutan suara seluruh anggota," urai Ranto.
Sebelumnya, Ketua Komisi A DPRD Sumut, Hendro Susanto menjelaskan sebelum memilih tujuh nama, 21 calon komisioner hasil pilihan tim seleksi menjalani fit and proper tes terlebih dahulu.
"Itu luar biasa, dan kita bersyukur timsel sudah dapat menghasilkan yang terbaik, kedua kita semau berharap semua terpilih. Karena kuota hanya tujuh akhirnya kita musyawarah mufakat," katanya ketika dikonfirmasi, Sabtu (22/1).
Dalam prosesnya, Hendro mengatakan bahwa pihaknya ingin mencari komisioner yang terbaik untuk berada di KPID Sumut.
"Dengan semangat kebersamaan, mencari terbaik, berkompeten, mencari variasi unsur muda, senior, keberagaman," sebutnya.
Penetapan komisioner KPID Sumut terpilih diduga melanggar tatib DPRD
Rabu, 2 Februari 2022 11:26 WIB 1194