Jakarta (ANTARA) - Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan Bayu Teja Muliawan mengatakan Kemenkes menganggarkan Rp394,5 miliar untuk kegiatan prioritas yang berkaitan dengan resiliensi farmasi dan alat kesehatan pada 2022.
“Anggaran tersebut dibagi untuk beberapa kegiatan prioritas yakni produksi alat kesehatan, Bahan Baku Obat (BBO), obat, obat tradisional, dan vaksin dalam negeri,” katanya dalam “Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi” yang dipantau di Jakarta, Selasa (9/11)
Terkait dengan produksi alat kesehatan dalam negeri, pemerintah menganggarkan Rp85 miliar untuk menyusun regulasi alkes produksi dalam negeri, memenuhi kebutuhan 10 alkes terbesar berdasarkan nilai dan volume dengan produksi dalam negeri, melakukan riset dan uji klinis alat kesehatan dalam negeri, serta mengawasi mutu alkes dalam negeri.
Baca juga: Brimob Polda Sumut beri pelayanan kesehatan bagi korban banjir di Sergai
Kemenkes menganggarkan Rp162 miliar untuk produksi BBO, obat, dan obat tradisional dalam negeri melalui penyusunan regulasi BBO, obat, dan obat tradisional produksi dalam negeri, memenuhi kebutuhan 10 molekul obat terbesar dengan produksi dalam negeri, memenuhi kebutuhan 40 obat esensial produksi dalam negeri, melakukan riset dan uji klinis, serta memproduksi fitofarmaka dalam negeri.
Kemenkes juga menganggarkan Rp147,5 miliar untuk penyusunan regulasi vaksin produksi dalam negeri, pemenuhan kebutuhan 14 vaksin imunisasi rutin dan vaksin COVID-19 dengan produk dalam negeri, serta melakukan riset dan uji klinis untuk vaksin dalam negeri.
Menurut Bayu, industri farmasi di dalam negeri perlu didorong untuk menjadi lebih mandiri agar obat, khususnya yang esensial, di pelayanan kesehatan dasar bisa terus dipenuhi.
“Kalau kita tidak mandiri, belum tentu indikator ini bisa dipenuhi. Misalnya kekurangan amoxicillin di satu kabupaten bisa membuat masyarakat heboh. Karena itu, kemandirian farmasi menjadi penting,” katanya.
Saat ini, kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan masih mengalami tantangan yang juga berkaitan dengan kualitas layanan primer, seperti sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai, kualitas pelayanan yang rendah, obat dan alat kesehatan yang tidak mencukupi, dan anggaran puskesmas yang tidak memadai.
Terkait dengan SDM yang tidak memadai, ia mencontohkan bagaimana pada 2019 sebanyak 50 persen puskesmas di Maluku dan Papua tidak memiliki dokter, 60 persen puskesmas tidak memiliki laboratorium, dan 33 persen puskesmas tidak memiliki apoteker.