Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia kedokteran, delirium disebut juga sebagai keadaan bingung akut (acute confusional state), ensefalopati metabolik atau toksik, sementara orang awam mengenalnya sebagai penyakit bingung atau kondisi bingung.
Menurut American Psychiatric Associations (APA) Diagnostic and Statistical Manual, edisi kelima (DSM-5), delirium adalah gangguan kesadaran ditandai dengan penurunan kemampuan untuk fokus, istiqomah, atau mengubah perhatian.
Gangguan itu berkembang dalam jangka pendek (umumnya dalam hitungan jam hingga beberapa hari), cenderung berfluktuasi dalam sehari. Delirium dapat juga disertai gangguan kognisi, berupa defisit memori (pelupa), disorganisasi, disharmonisasi dalam hal bahasa, kemampuan visuospasial, atau persepsi.
Baca juga: Saran dokter bagi penyandang diabetes di masa adaptasi normal baru
Prevalensi delirium dalam komunitas hanya sekitar 1-2 persen, namun di rumah sakit angkanya meningkat hingga 14-24 persen. Insiden delirium meningkat selama masa hospitalisasi dari 6 persen hingga 56 persen. Di antara pasien lansia yang dirawat di ICU, insiden delirium dapat mencapai 70,87 persen.
Dari sisi usia, delirium mudah dibedakan dari demensia. Delirium sering dijumpai pada usia kurang dari 12 tahun dan lebih dari 40 tahun, dan lebih umumnya lagi dijumpai pada orang berusia lebih dari 50 tahun.
Baca juga: Kesepakatan dan disiplin solusi atasi anak kecanduan gawai
Lalu, apa penyebab delirium?
Penyebab delirium dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama. Pertama, gangguan otak secara langsung, misalnya pada kondisi kehilangan (deprivasi) energi, kekacauan/gangguan metabolik, trauma sistem saraf pusat (cedera aksonal difus, perdarahan).
Bisa juga disebabkan karena infeksi (infeksi sistem saraf pusat primer, invasi sistem saraf pusat hematogen), keganasan (berupa tumor sistem saraf pusat primer, metastases/penyebaran), hiperkapnia (kadar karbondioksida di aliran darah berlebihan), perdarahan otak, trauma (kecelakaan, cedera), dan toksisitas obat (antagonis kolinergik, agonis dopamin, agonis GABA, opioid).
Baca juga: Minum jamu agar sehat boleh-boleh saja, tapi ada syaratnya
Kedua, berbagai penyimpangan respons stres yang diinduksi oleh penyimpangan (aberrations) saat proses sistemik adaptif secara normal dan beragam respons sistem saraf pusat terhadap stresor, seperti infeksi, cedera akibat operasi, cemas, dan lain sebagainya.
Menurut Ferri's Clinical Advisor (2019), proses perjalanan yang mendasari (patofisiologi) terjadinya delirium adalah neuroinflamasi disertai peningkatan permeabilitas sawar darah-otak, defisiensi asetilkolin, ketidakseimbangan beragam neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan norepinefrin.
Berdasarkan potret klinis, gejala delirium antara lain adanya perubahan status mental yang mendadak, sulit fokus selama percakapan, sulit berkonsentrasi alias pikiran yang suka mengembara (bahasa Jawa--ngelantur), acak, irasional, kesadaran yang berubah-ubah (mulai dari sangat waspada hingga pingsan), bingung, atau disorientasi waktu atau tempat.
Kemudian gangguan memori atau daya ingat (pelupa), gangguan berbicara atau berkomunikasi, melihat atau mendengar hal-hal yang tidak ada (halusinasi), aktivitas motorik dapat meningkat (gelisah, mengetuk jari, memilih pakaian) atau kebalikannya motorik menurun (menatap kosong ke langit atau bergerak sangat lambat), perubahan pola tidur, perubahan suasana hati (mood) atau kepribadian.
Seni diagnosis
Dokter dan tim medis memerlukan waktu untuk menegakkan diagnosis delirium. Hal ini dikarenakan delirium memiliki beberapa diagnosis banding, misalnya penyakit psikiatris atau gangguan kejiwaan primer, sindrom fokal, demensia, status epileptikus nonkonvulsif, sundowning (kondisi bingung saat senja hingga malam hari).
Dokter dapat mendiagnosis delirium berbasis riwayat medis, tes untuk menilai status mental dan identifikasi faktor-faktor yang mendasari. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter meliputi penilaian status mental (dokter memulai dengan menilai kesadaran, perhatian, dan proses berpikir), pemeriksaan sistem persarafan dan fisik (dokter menilai penglihatan, keseimbangan, koordinasi, dan refleks).
Status mental delirium dapat dengan mudah dibedakan dokter dari status mental demensia. Pada delirium, dijumpai afek dengan labilitas emosional, orientasi biasanya terganggu, ada gangguan perhatian, halusinasi visual tampak nyata, gangguan gaya berbicara atau berkomunikasi (perlahan, inkoheren, dysarthria alias artikulasi tidak jelas), kesadaran menurun sampai terganggu, fungsi intelektual biasanya terganggu.
Pada demensia, dokter akan menemukan afek datar disertai penyakit kambuhan atau lanjutan. Orientasi penderita demensia terganggu disertai penyakit lanjutan. Kemampuan untuk perhatian atau atensi melambat, namun ada penderita demensia yang masih bisa fokus. Jarang dijumpai halusinasi, gaya berbicara umumnya koheren alias masih nyambung saat diajak berkomunikasi, kesadaran jernih, namun fungsi intelektual terganggu.
Tes atau pemeriksaan laboratorium dapat juga digunakan untuk menegakkan diagnosis delirium, misalnya hitung darah lengkap, elektrolit, uji fungsi hati, ammonia, kadar obat (digoksin, lithium), screening toksikologi, uji air seni (urinalisis dan kultur urin), tes fungsi tiroid, vitamin B12, dan kadar folat, reagin plasma cepat untuk sifilis, darah, urin, dan kultur cairan spinal, gas darah arteri.
Disarankan untuk melakukan pungsi lumbal bila penyebab delirium belumlah nyata. Studi pencitraan berupa CT scan kepala dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perdarahan, trauma, tumor, atrofi (penyusutan atau pengecilan), stroke, demensia. Sementara radiografi dada dilakukan untuk mengetahui keberadaan tumor atau infeksi.
Solusi
Pemberian medikamentosa dengan agen antipsikotik perlu diinisiasi hanya bila dijumpai gejala yang berat, berbahaya, atau menyebabkan distres yang signifikan terhadap pasien.
Sebagian besar obat golongan antipsikotik dapat memperpanjang interval QT (pengukuran yang dilakukan pada elektrokardiogram yang digunakan untuk menilai beberapa sifat listrik jantung) dan meningkatkan risiko terjadinya torsades de pointes (suatu gangguan irama jantung ventrikuler taki- kardi tipe polimorfik, dimana ventrikel ber- kontraksi lebih dari 200 sampai 250 kali per menit).
Haloperidol hanya diresepkan dokter untuk mengatasi dan mengendalikan agitasi pasien delirium. Hindari pemberian benzodiazepin dan meperidin mengingat toksisitasnya yang dijumpai pada 30 persen kasus delirium.
Pencegahan delirium dan diseminasi delirium dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, pembiasaan higiene dan kebiasaan tidur, misalnya ciptakan suasana dan lingkungan yang tenang, nyaman, dan bersih. Jadwalkan tidur teratur di jam yang sama setiap harinya.
Kedua, ciptakan ketenangan, kenyamanan, dan orientasi yang baik dari penderita, contohnya disiplin diri dengan membuat jadwal harian, pendekatan dengan penderita dengan tenang, berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami penderita.
Hindari debat atau adu argumen dengan penderita atau keluarganya. Minimalkan keributan, polusi (udara, suara, dsb). Persiapkan alat bantu penglihatan (kacamata) dan pendengaran (hearing aids) untuk pasien dengan keterbatasan penglihatan dan pendengaran.
Ketiga, mencegah problematika komplikasi. Caranya dengan memberitahu penderita jadwal minum obat. Pastikan obat diminum secara teratur. Sediakan diet sehat dan asupan cairan cukup. Perhatikan lingkungan tempat tinggal penderita, hindarkan dari ketidakseimbangan metabolik dan penyakit infeksi.
* Penulis merupakan dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah (FKIK Unismuh) Makassar dan anggota delegasi Indonesia untuk 2020 The Annual Biomedical Exploration Workshop di Taipei Medical University (TMU) Taiwan.
Mengupas delirium, penyakit bingung mendadak
Jumat, 7 Agustus 2020 14:03 WIB 6832