Tapanuli Utara (ANTARA) - Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan menilai, penerapan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru bagi siswa tingkat SLTA yang didasarkan pada jarak domisili peserta dengan lokasi sekolah berpeluang mengakibatkan persoalan sosial baru, yakni memicu peningkatan siswa putus sekolah.
"Kondisi Tapanuli Utara dengan desa-desa yang masih terpencil dan jauh dari lokasi sekolah sangat tidak berpihak pada penerapan sistem zonasi PPDB SLTA. Sebab, dalam satu wilayah kecamatan dengan jumlah penduduk yang besar, juga masih memiliki satu sekolah," ungkap Bupati Nikson, Kamis (2/7).
Menurutnya, keberadaan SMA Negeri Pangaribuan dengan desa-desanya yang berjarak cukup jauh, dan bahkan salah satu desanya, yakni Desa Sigotom berada pada posisi paling jauh dari lokasi sekolah dimaksud. Para siswanya sama sekali tidak memiliki peluang untuk bersekolah di sekolah tersebut karena sistem zonasi yang diatur dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018.
Baca juga: Panen perdana kentang di tengah pandemi COVID-19, Bupati Nikson apresiasi Martohap Aritonang
Baca juga: Pandemi COVID-19 belum berlalu, alumni SMUNTA 2002 sumbang APD tenaga medis
Meski semangat penerapannya dimaksudkan agar tidak ada lagi sekolah-sekolah yang dianggap sekolah favorit dan non-favorit, namun kondisi tersebut, kata Nikson, mengakibatkan munculnya peluang yang sangat besar untuk si siswa putus sekolah karena tidak diterima di sekolah yang berada di kampung halamannya.
Hal tersebut juga diperparah kebutuhan pembiayaan untuk masuk di sekolah swasta yang cukup besar di tengah kondisi ekonomi orangtua yang tidak memungkinkan untuk pemenuhannya hingga akhirnya menimbulkan keputus-asaan, dan berujung pada siswa yang putus sekolah.
"Bagi saya, sepertinya ini bertentangan dengan isi Undang undang nomor 23 tahun 2014 yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan urusan pemerintahan konkuren sebagai pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan yang kewenangannya bisa diberikan pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah," terangnya.
Lanjut Nikson, jika hal tersebut dibiarkan, akan memicu peluang putus sekolah atau memaksa siswa untuk indekos ke kota Tarutung atau ke kota lainnnya hanya untuk menempuh pendidikan SMA, yang notabene merupakan masa wajib belajar 12 tahun.
Sementara, semangat pemerintahan berupaya mengurangi kesenjangan yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk dalam sisi pendidikan, merupakan amanat dari nawacita Presiden Joko Widodo.
Hal tersebut seharusnya mendasari penerapan sistem zonasi sebagai salah satu kebijakan yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional.
"Saya bermohon kepada pemerintah pusat, khususnya Menteri Pendidikan agar kebijakan zonasi ini ditinjau ulang sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan, khususnya sampai tingkat SLTA," imbuhnya.
Disebutkan, penerapan sistem zonasi memang akan menguntungkan pada posisi di perkotaan, dimana kondisi wilayah dan sekolahnya sudah mendukung untuk hal tersebut.
Akan tetapi, untuk kondisi geografis seperti Tapanuli Utara justru akan sangat merugikan bagi siswa yang berdomisili di dusun-dusun yang lebih jauh dari lokasi sekolah.
"Apabila sistem zonasi ini juga diterapkan sampai tingkat universitas negeri, maka peluang masyarakat Tapanuli Utara untuk kuliah di universitas favorit tidak ada lagi. Ini menjadi perhatian kita bersama, tugas kita bersama karena ini sudah banyak disuarakan masyarakat, terutama desa-desa yang sekolahnya sangat terbatas," tukas Nikson.