Medan (ANTARA) - Berdasarkan laporan situasi WHO ke-70 pada 30 Maret 2020, Wabah COVID-19 telah menjangkiti hampir seluruh negara di dunia.
Indonesia bersama dengan negara-negara kawasan Eropa (khususnya Italia, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Turki merupakan sederetan negara dengan jumlah korban terpapar COVID-19 dan jumlah korban meninggal dunia terbesar di dunia.
Bagi Indonesia, kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini sesungguhnya telah berjalan hampir satu bulan lamanya. Aktivitas kehidupan masyarakat dirasakan berubah drastis. Kebijakan optimalisasi kerja dari rumah menjadi sumbu lokomotif kehidupan rumah tangga masyarakat.
Ini tidak mudah karena berisiko tinggi terhadap daya tahan kehidupan rumah tangga masyarakat.
Kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, keterbatasan logistik dan akses beban-beban kehidupan lainnya dipastikan akan mewarnai kondisi terbaru Indonesia ke depan.
Tidak ada cara lain kecuali negara mampu mengoptimalisasi seluruh kekuatannya bersama seluruh elemen masyarakat bersatu menghadapi realitas buruk ini. Ini ujian bagi sistem kemanusiaan universal.
Oleh karenanya, masyarakat harus benar-benar dipandu dan dilibatkan secara aktif mendapatkan informasi yang valid dan bertindak disiplin tentang apa dan bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Selain itu, produk-produk rekayasa positif Pemerintah tidak boleh lamban dan kurang jelas akibat ego sektoral kementerian/lembaga, pemerintahan daerah dan aktor-aktor keamanan.
Presiden Jokowi telah menerbitkan Kepres No. 7 Tahun 2020, sebagaimana diubah dengan Kepres No. 9 Tahun 2020, Inpres No. 4 Tahun 2020 dan yang terkini pada 31 Maret 2020, kebijakan penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat berbasis pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Bentuk responsi karantina wilayah dan pembatasan sosial skala besar akan menjadi prioritas yang berada di bawah otoritas menteri kesehatan dan pejabat karantina kesehatan.
Sekali lagi, komitmen dan koordinasi menjadi kata kunci untuk mengimplementasikan mandat peraturan kebijakan tersebut.
Penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat akan berimplikasi pada tuntutan sinerjitas yang kuat dan cepat dari seluruh elemen penyelenggara pemerintahan.
Di sinilah semakin dituntut negara wajib hadir dan bertanggung jawab serta berkewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia (HAM). Itulah mandat instrumen HAM nasional dan internasional.
Standar dan norma regulasi kesehatan internasional (international health regulation/IHR) tahun 2005 dan Indonesia menjadi negara pihak sejak 2007, menyatakan dengan tegas, bahwa the implementation of these Regulations shall be with full respect for the dignity, human rights and fundamental freedoms of persons (pelaksanaan IHR wajib tunduk pada penghormatan kemartabatan, HAM dan kebebasan mendasar setiap orang).
Sesungguhnya komitmen Indonesia terhadap implementasi IHR telah dinyatakan tegas melalui terbitnya UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pemerintah wajib merealisasikan komitmen tersebut dengan secepatnya menerbitkan peraturan organiknya serta mengimplementasikannya dengan maksimal dan bertanggung jawab.
Melalui mekanisme penetapan kedaruratan kesehatan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memastikan tanggung jawab dan kewajiban melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Penetapan status ini akan berimplikasi pada kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar. Hal ini menuntut konsekuensi logis ketegasan, kedisiplinan, kecepatan dan ketundukan pada langkah-langkah koordinatif dan konsultatif yang ditopang dengan ketersedian dan ketercukupan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat tanpa diskrminasi.
Pandemi COVID-19 yang diyakini sebagai bentuk kedaruratan global dan nasional meniscayakan maksimalisasi kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap HAM.
Ini suasana darurat dan tidak normal. Begitupun, perspektif HAM mengafirmasi bahwa perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama hak kesehatan wajib menjadi prioritas tanpa diskriminasi dan pelibatan aktif masyarakat. Penetapan status kedaruratan sesungguhnya meniscyakan risiko-risiko yang bisa dievaluasi sesuai dengan taraf kebutuhan tahapan-tahapan krisis tertentu.
Lebih penting lagi, iklim kedaruratan tidak boleh dimaknakan sebagai justifikasi penetapan langkah-langkah krisis yang eksesif dengan meminggirkan kerja-kerja pembela HAM dan jurnalis untuk memantau perlindungan dan pemenuhan HAM oleh negara.
***Majda EL Muhtaj adalah Dosen Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan