Jakarta (ANTARA) - KPK mendalami peran Direktur Utama (Dirut) PT PLN nonaktif Sofyan Basir dari Pelaksana Tugas (Plt) Dirut PT PLN Muhammad Ali.
"Jadi hari ini saya dimintai penjelasan terkait dengan status Pak Sofyan Basir sebagai tersangka untuk proses ini. Saya ditanya dalam kapasitas sebagai direktur Human Capital Management, lalu tentang (PLTU) Riau-1," kata Ali di gedung KPK Jakarta, Selasa.
KPK memeriksa Ali sebagai saksi untuk tersangka Sofyan Basir dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Ali sebelumnya dijadwalkan untuk diperiksa pada Jumat (3/5) namun Ali tidak menghadiri pemeriksaan tersebut sehingga dijadwalkan ulang pada hari ini. Ali menjabat sebagai Plt Dirut PT PLN sejak 25 April 2019.
"Semua sudah dijelaskan, ada 18 pertanyaan yang kami jelaskan tadi, kami menjelaskan sesuai dengan yang kita tahu," tambah Ali.
Menurut Ali, ia tidak ditanyakan mengenai arahan Sofyan Basir untuk memenangkan perusahaan yang dibawa oleh Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Hal tersebut (pertanyaan mengenai pertemuan) tidak ditanyakan ke kami, itu sudah menyangkut materi. Tadi saya sudah menjelaskan dengan baik apa yang diperlukan penyidik untuk memperlancar proses yaitu mengenai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sebagai direktur Human Capital Management, untuk menyiapkan human capital di PLN," jelas Ali.
Ali pun membantah mengikuti sejumlah pertemuan yang dilakukan oleh Sofyan dengan sejumlah pihak terkait proyek tersebut.
Sofyan Basir diumumkan sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 pada Selasa (23/4).
Sofyan diduga membantu bekas anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemilik saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo mendapatkan kontrak kerja sama proyek senilai 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Sofyan hadir dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh Eni Maulani Saragih, Johannes Kotjo dan pihak lainnya untuk memasukkan proyek "Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) PT PLN.
Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), Sofyan diduga telah menunjuk Johannes Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1 karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Sehingga PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam RUPTL PLN. Setelah itu, diduga Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar "Power Purchase Agreement" (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.
KPK juga sudah mengirimkan surat permohonan cegah untuk Sofyan sejak 25 April 2019 hingga enam bulan ke depan.
Terkait perkara ini, sudah ada 3 orang yang dijatuhi hukuman yaitu mantan Menteri Sosial yang juga mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan.
Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu juga telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga memberikan suap kepada Eni Maulani Saragih sejumlah Rp5 miliar.