Oleh Profesor Ibrahim Gultom
Ketika Dewan Riset Daerah Sumatera Utara (DRD-SU) beraudiensi dengan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Letjen Edy Rahmayadi dua bulan yang lalu, saya sedikit agak tercengang bercampur haru mendengar pemaparan beliau sejak beliau menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Dengan gaya yang khas beliau menceritakan betapa banyaknya permasalahan di tubuh internal organisasi.
Bahkan tanpa tedeng aling-aling beliau menceritakan kondisi objektif Pemprov sekarang ini meski dari segi gesturnya ada tertancap optimisme dan keinginan mengejar ketertinggalan Sumut di segala bidang dibandingkan dengan provinsi lain.
Mulai dari manajemen (tata kelola) internal Pemprov yang tak punya semacam “kitab suci” - sebagai guide Sumut - dalam melaksanaan pembangunan, keharusan membayar utang ke pemkab-pemkab, pembebasan tanah rakyat ex PTPN hingga ke persoalan banjir yang terjadi di Medan, beliau ceritakan dengan lugas seraya berharap sokongan dari semua pihak.
Tanpa disadari pertemuan itu menjadi ajang “curhat” sekaligus brainstorming bagaimana memulai untuk mewujudkan pembangunan di Sumut sesuai dengan visi dan misi Eramas yang sudah kadung “terjual” ke publik pada saat kampanye.
Dalam kurun waktu seratus hari lebih yang sudah dilalui, praktis Eramas belum bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya beradaptasi sekaligus mengidentifikasi seluruh masalah yang ada di tubuh organisasi Pemprov tak terkecuali mengaudit dan mengevaluasi segala sumber daya yang ada.
Paling tidak barulah penggunaan anggaran tahun depan dan seterusnya bisa dieksekusi untuk mewujudkan visi misi Eramas itu.
Mayoritas masyarakat sudah tahu bahwa visi Eramas bercita-cita mewujudkan Sumut bermartabat dan untuk meraih itu telah dituangkan dalam lima misi strategis yang secara imperatif harus diwujudkan dalam setiap aksi.
Meski penggunaan terminologi martabat biasanya hanya disematkan pada makhluk manusia yang punya marwah, punya harga diri atau punya tingkat harkat kemanusiaan yang tinggi, dan tidak begitu lazim dilabelkan pada benda mati, namun tidak pula ada salahnya jika istilah itu digunakan pada kata yang menghunjuk Sumut beridentik martabat.
Jargon itu menjadi spirit ideal sekaligus analogi penghargaan tertinggi kepada Sumut sebagaimana terdapat pada manusia.
Lagi pula, salah satu unsur utama dari Sumut yang bermartabat itu adalah manusia di samping unsur-unsur lain.
Oleh karena unsur manusia sebagai indikator utama Sumut yang bermartabat, maka pembangunan manusia tentu menjadi prioritas utama dalam jangka panjang.
Pembenahan Sektor Pendidikan
Meski untuk mewujudkan Sumut bermartabat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena memerlukan waktu yang sangat lama, namun paling tidak sudah ada tonggak sejarah pembangunan menuju tujuan yang bermartabat itu.
Agar supaya visi misi itu segera terwujud secara bertahap maka aparat Pemprov sudah harus mampu menerjemahkannya dalam bentuk program di setiap SKPD.
Salah satu program yang bersinggungan dekat dengan visi “bermartabat” adalah pembangunan di bidang pendidikan. Hal yang satu ini bukan lagi penting tapi mendesak karena melalui pendidikanlah salah satu standar ukuran manusia yang bermartabat itu.
Kita merasa sedih mendengar peringkat pendidikan di SUMUT yang diekspos belum menggembirakan, baik peringkat lulusan peserta didik maupun peringkat uji kompetensi guru yang masih jauh di bawah rata-rata tingkat nasional.
Untuk itu perlu dikaji secara komprehensif mengapa bisa terjadi sebesar dan sekaya Sumut belum bisa bersaing dengan provinsi yang lain bahkan provinsi yang baru lahir.
Mungkin salah satu penyebabnya selama ini adalah kurangnya gelontoran dana yang diperuntukkan untuk peningkatan mutu pendidikan.
Untuk itu perlu ke depan para pengambil kebijakan mendapat perhatian bagi pengalokasian dana yang signifikan pada sektor pendidikan.
Walaupun dana bukanlah segala-galanya namun dana juga menjadi yang sangat penting sebaga penggerak terlaksananya kegiatan pendidikan yang bermutu.
Cobalah kita periksa anggaran pendidikan dari tahun ke tahun di Sumut yang hanya berkisar lima persen lebih. Itu artinya masih jauh dari tuntutan Undang-undang yang mengharuskan 20 % untuk anggaran pendidikan baik dari sumber APBN maupun APBD.
Jika kita ingin mewujudkan Sumut yang bermartabat maka sektor pendidikanlah yang menjadi prioritas utama seraya membenahi sektor ekonomi dan sektor-sektor lainnya.
Manajemen Pendidikan
Di samping pendanaan yang memadai, suatu hal yang sangat penting mendapat perhatian adalah membenahi manajemen pendidikan Dasar dan Menegah.
Dalam konteks ini perlu Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal serta berkompeten dalam mengelola pendidikan.
Aparatur pendidikan mulai dari tingkat yang paling rendah hingga top leader di setiap dinas pendidikan seharusnya orang yang mampu memahami seluk-beluk pendidikan.
Bila perlu tukang kebun kantor satuan kerja yang mengelola pendidikan pun harus orang yang mengerti pendidikan.
Sekitar 10 tahun yang lalu, ketika saya masih menjabat sebagai Dekan FIP-UNIMED, saya pernah mengikuti dengar pendapat (hearings) dengan DPRD Medan yang kala itu saya mengusulkan agar Kepala Dinas Pendidikan di serahkan saja kepada orang yang punya kompetensi dalam mengelola pendidikan.
Biarlah jabatan “dinas” yang satu ini diberikan kepada jabatan karir yang diawali dari jabatan guru, kepala sekolah, pengawas atau pegawai tenaga kependidikan yang basis keilmuannya berasal dari lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Mereka ini tentu sudah pasti lebih paham dibandingkan dengan orang yang basis keilmuannya bukan berasal dari LPTK. Bila perlu adalah aparat yang sudah berkualifikasi S2 atau S3 karena mereka dianggap sudah paham betul secara konprehensip mengenai pendidikan.
Keharusan orang yang tepat dalam mengurus sesuatu adalah tuntutan zaman sekarang ini yang ditandai dengan kompetensi, profesionalisme, spesialisasi keahlian dan sertifikasi. Tidak boleh lagi didasari like and dislike atau factor X lainnya.
“The right man on the right place” demikian sebuah pepatah orang Barat yang dipertegas dengan sunnah Nabi yang berbunyi “maka tunggulah kehancuran apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya”, menjadi cambuk bagi kita untuk berpikir objektif dan taat azas.
Jangan seperti pernah kejadian di salah satu kabupaten di Pulau Jawa yang semula menjabat sebagai Kadis “Pertamanan dan Pemakaman” diangkat menjadi Kadis pendidikan pada periode berikutnya.
Itu berarti dari semula mengurus orang mati menjadi mengurus orang hidup atau peserta didik. Dari akal sehat, dari mana rumusnya bisa seorang yang basis keilmuannya non LPTK bisa memahami sistem pendidikan dan pembelajaran.
Dari mana yang bersangkutan bisa mengerti ruh pendidikan kalau yang bersangkutan tidak paham tentang filsafat pendidikan, kurikulum, evaluasi, metode termasuk nasib guru itu sendiri.
Bukan bermaksud menafikan peran para mantan kadis dalam upaya memajukan pendidikan di Sumut selama ini, namun demikianlah ternyata kadar komitmen mereka terhadap pendidikan sehingga karyanya belum berbuah manis dan tetap kalah bersaing dengan daerah lain.
Untuk itu komitmen aparat pendidikan sangat diperlukan dan biasanya hanya orang yang paham pendidikanlah yang dapat berkomitmen tinggi terhadap pendidikan itu sendiri.
Cobalah lihat betapa negara Finlandia sebuah negara yang termaju di dunia dalam pendidikan terutama dalam pendidikan Dasar dan Menengah, tiada lain karena presidennya adalah berlatar belakang seorang guru dan kepala sekolah.
Presidennya berkomitmen karena sudah lebih awal memahami seluk-beluk komponen pendidikan yang perlu dibenahi.
Meski tidak bisa disamakan dengan keadaan kita di Indonesia khususnya di Sumut dengan negara Finlandia, paling tidak pimpinannya yang dalam hal ini Kadis Pendidikan punya komitmen untuk memajukan pendidikan. Kita tentu sudah harus mulai berbuat untuk menyahuti tuntutan visi-misi “bermartabat” itu dari sektor pendidikan.
Jika kita terlena dan tidak mau tahu dengan persoalan yang satu ini, maka akan menunggu kehancuran sebagaimana pesan rasul yang telah disebutkan di atas.
Pendidikan yang gagal akan berdampak kepada kehidupan rakyat yang lebih buruk pada masa mendatang. Itulah sebuah aksioma yang dapat membelajarkan kita agar kita tidak menganggap enteng terhadap pendidikan.
Memang dalam pembangunan pendidikan tidaklah seperti membangun sektor yang lainnya yang hasilnya bisa terlihat secara on the spot melainkan membutuhkan waktu yang lama atau bahkan dampaknya baru dapat dirasakan setelah puluhan tahun. Namun jika kita sudah bersengaja mencanangkan dan menuangkan sedini mungkin dalam program berkelanjutan baik dalam jangka pendek maupun panjang, insha Allah aroma Sumut yang bermartabat yang dicita-citakan itu akan terwujud secara bertahap.
Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dalam setiap penyususunan dan pelaksanaan anggaran di semua sector taak terkecuali sector pendidikan adalah adanya pengawasan internal yang optimal dari pihak terkait.
Hal ini perlu agar terwujud penggunaan anggaran yang efisien sekaligus menghindari penggunaan anggaran yang tidak berbasis pada analisis kebutuhan kegiatan atau proyek apalagi jika itu menjadi objek empuk bidikan KPK.
Terkadang tidak jarang penggunaan anggaran hanya sekedar berorientasi proyek belaka tanpa membuahkan hasil apa-apa sehingga kegiatannya tidak menyentuk kearah perbaikan. Semestinya penggunaan anggaran harus berorientasi kepada pemenuhan tuntutan visi misi Sumut bermartabat.
Tanah Rakyat Eks PTPN
Dalam tulisan yang kecil ini tertompang disuarakan keluhan masyarakat para pemilik tanah eks PTN yang selama ini tidak pernah tuntas ditangani pemimpin (gubernur) sebelumnya. Ribuan tanah rakyat eks HGU-PTPN khususnya di Deli Serdang dan Langkat belum bisa dikuasai oleh rakyat meski mereka sudah punya tanda kepemilikan dari agraria provinsi tahun 1984 dan 1985.
Si pemilik tanah ini adalah pensiunan pegawai PTPN. Sejengkal tanah yang mereka punyai yang semula diharapkan bekal di hari tua ternyata tidak bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Dalam hal ini, memfasilitasi dan memudahkan urusan rakyat kecil seperti ini juga perlu mendapat perhatian di era kepemimpinan Eramas.
Perlu dibentuk komisi pengembalian dan pengurusan tanah rakyat yang selama ini pihak PTPN terkesan setengah hati alias kurang ikhlas menyerahkannya kepada pemilik yang bersangkutan.
Membantu urusan seperti ini tidak perlu penganggaran dana APBD yang banyak, cukup political will dari pihak pemprov yangsangat diperlukan.
Menolong rakyat untuk memudahkan urusannya adalah sebuah kebahagian bagi rakyat. Sementara membahagiakan rakyat adalah salah satu entitas yang dituju secara tersirat dalam visi Sumut bermartabat.
Berlaku hukum menanamkan kebaikan dalam konteks ini yakni jika rakyat menikmati dampak dari buah tangan pemimpin, maka pemimpin juga memperoleh martabat yang jauh lebih tinggi dari yang dipimpinnya.
Dengan kata lain martabat itu bukan hanya bertengger pada rakyatnya sebagai sasaran pembangunan tetapi juga pemimpinnya.
Penutup
Semoga visi misi bukan hanya slogan indah belaka, namun dapat diwujudkan secara bertahap sekaligus dirasakan seluruh rakyat Sumut.
Semua elemen masyarakat diharapkan juga dapat mendukung paling miskin doa agar program unggulan Eramas menuju Sumut bermartabat dapat berjalan lancar.
Jika pun tak bisa memberi masukan yang membangun jangan justru merecoki sehingga menjadi batu sandungan dalam meraih cita-cita kita bersama. Kritik dan saran membangun dari semua pihak terutama para ahli dan akademisi sangat diperlukan untuk mendukung program Eramas secara berkelanjutan.
Jika ada orang sekarang ini menyebut pemimpin Sumut khususnya Sekda dianggap gagal, saya kira itu merupakan penilaian yang terlalu dini dan tendensius. Selamat Eramas mengemban amanah.
Penulis adalah guru besar Unimed