Medan (ANTARA) - Penetapan Kepala Dinas (Kadis) Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Samosir, berinisial FAK, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Samosir, Sumatera Utara, dinilai bermuatan kriminalisasi dan tidak didukung fakta hukum yang utuh.
Hal itu disampaikan tim penasihat hukum FAK yang terdiri atas Rudi Zainal Sihombing, Dwi Natal Ngai Sinaga, Benri Pakpahan, dan Rizon Manullang dalam keterangan tertulis yang diterima di Medan, Selasa (23/12).
Dwi Ngai menyatakan peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan pada 1 Juli 2025 dilakukan ketika hasil audit kerugian keuangan negara belum tersedia, sehingga patut dipertanyakan dari sudut pandang hukum acara pidana.
“Peningkatan status perkara tersebut dilakukan ketika belum ada hasil audit kerugian keuangan negara. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dari aspek hukum acara pidana,” kata Dwi Natal Ngai Sinaga.
Ditambahkan Rudi Zainal Sihombing, seharusnya peningkatan status perkara telah didukung alat bukti surat berupa hasil perhitungan kerugian keuangan negara. Namun dalam perkara tersebut, hal itu dinilai belum terpenuhi.
“Peningkatan status perkara seharusnya telah didukung alat bukti surat berupa hasil perhitungan kerugian keuangan negara. Namun dalam perkara ini, hal tersebut belum ada,” ujar Rudi.
Pihaknya juga mempertanyakan penggunaan jasa akuntan publik dalam menghitung kerugian negara tanpa kejelasan apakah sebelumnya telah dilakukan audit oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mereka membantah tuduhan adanya penerimaan fee sebesar 15 persen oleh kliennya sebagaimana disampaikan penyidik.
Menurut mereka, tuduhan tersebut tidak disertai bukti otentik dan hanya didasarkan pada keterangan pihak lain.
“Jika benar ada fee, tentu terdapat pihak yang memberi dan menerima. Namun menjadi pertanyaan mengapa hanya klien kami yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara pihak lain tidak,” kata Rudi.
Pihaknya juga menegaskan bahwa FAK bukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tidak memiliki kewenangan langsung terhadap pelaksanaan maupun penyaluran bantuan, sehingga penetapan tersangka dinilai tidak tepat sasaran.
Terkait dugaan perubahan mekanisme penyaluran bantuan dari tunai menjadi barang, mereka menyebut hal tersebut tidak berdasar karena pesanan barang berasal langsung dari masyarakat sesuai kebutuhan, sebagaimana tercantum dalam dokumen pertanggungjawaban kegiatan.
Tim penasehat hukum tersangka FAK menegaskan mekanisme tersebut telah sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Nomor 31/3/BS.00.01/8/2024 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Penguatan Ekonomi Korban Bencana.
“Atas dasar itu, kami menilai penetapan tersangka terhadap klien kami tidak mencerminkan prinsip penegakan hukum yang objektif dan berkeadilan,” tegasnya.
Sebelumnya, tim Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejari Samosir menetapkan FAK sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi Bantuan Penguatan Ekonomi Korban Bencana Alam Banjir Bandang di Kabupaten Samosir Tahun 2024.
Kepala Kejari Samosir Satria Irawan menyampaikan penetapan tersangka tersebut dilakukan berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-02/L.2.33.4/Fd.1/12/2025 tanggal 22 Desember 2025.
Ia mengatakan penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik memperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP serta berdasarkan hasil gelar perkara.
Berdasarkan laporan Akuntan Publik pada Kantor Akuntan Publik Gideon Adi & Rekan Nomor 041/KAP-GAR/XII/2025, kerugian keuangan negara ditaksir sebesar Rp 516.298.000.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka dan dinyatakan sehat oleh dokter, FAK kemudian dilakukan penahanan di Lapas Kelas III Pangururan selama 20 hari.
Satria menyebut modus operandi yang disangkakan antara lain mengubah mekanisme penyaluran bantuan dari tunai menjadi bantuan barang dengan menunjuk BUMDes Ma Marsada Tahi sebagai penyedia, serta meminta penyisihan 15 persen dari nilai bantuan untuk kepentingan pribadi dan pihak lain.
“Atas perbuatannya, tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,” kata Satria.
