Medan (ANTARA) - Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, menolak gugatan praperadilan terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka dugaan pemerasan diajukan mantan Kabagbinopsnal Ditreskrimum Polda Sumut Kompol Ramli Sembiring.
“Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Hakim Tunggal Phillip Mark Soentpiet saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (16/4).
Hakim Philip Soentpiet menilai Pengadilan Negeri Medan tidak berhak dan berwenang mengadili permohonan gugatan praperadilan yang diajukan Raml Sembiring.
Menurut Hakim Philip Soentpiet bahwa pengadilan yang berhak dan berwenang mengadili praperadilan Ramli adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena kasus yang menjerat Ramli Sembiring ditangani oleh Bareskrim Polri.
"Menyatakan Pengadilan Negeri Medan tidak berwenang mengadili perkara ini. Menghukum pemohon membayar biaya perkara sejumlah nihil," ucap Hakim Phillip.
Dengan demikian, penetapan tersangka terhadap Ramli Sembiring sah dan penyidik dapat kembali melanjutkan proses penyidikan.
Diketahui Ramli Sembiring mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka atas kasus dugaan tindak pidana pemerasan.
Ramli Sembiring melalui kuasa hukumnya Irwansyah Nasution mendaftarkan permohonan gugatan praperadilan pada Kamis (13/3), dengan nomor perkara: 17/Pid.Pra/2025/PN Mdn.
Dalam gugatan itu, pihaknya selaku pemohon menggugat Pemerintah RI Cq Kapolri Cq Bareskrim Polri Cq Direktorat Tipikor Cq Direktur Tipikor selaku termohon I. Lalu, Kapolda Sumut Cq Direskrimsus Polda Sumut seaku termohon II.
Sebelumnya Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menetapkan dua mantan personel Polda Sumatera Utara (Sumut) sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terkait dengan dana alokasi khusus (DAK) untuk kegiatan di sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN).
Kedua tersangka yakni, Kompol Ramli Sembiring alias RS merupakan PS Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumut, dan Brigadir Bayu alias B merupakan penyidik pembantu pada Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sumut.
“Sudah ditetapkan sebagai tersangka dan tersangka RS telah melakukan upaya perlawanan hukum praperadilan atas penetapan tersangkanya,” kata Kepala Kotak Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, Rabu (19/3).
Dia mengatakan bahwa kedua tersangka tersebut saat ini telah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat dari Polri.
“Setelah PTDH, kami tetapkan tersangka dan langsung kami tahan di Rutan Bareskrim Polri,” ujar dia.
Cahyono menyebutkan kedua tersangka bersama-sama diduga memaksa kepala sekolah SMKN di Sumut untuk memberikan bagian dari proyek DAK dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Tersangka B, kata dia, meminta proyek pekerjaan DAK fisik ke Dinas Pendidikan Sumut dan kepala sekolah SMKN yang menerima dana tersebut.
“Yang tidak mau diminta pekerjaannya, dua orang tersangka ini pakai kewenangan yang dimilikinya untuk mengundang yang kepala sekolah,” kata dia.
Para kepala sekolah yang menolak, dikirimi surat aduan masyarakat (dumas) fiktif terkait dugaan korupsi dana bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) yang seolah-olah laporan dari masyarakat.
Ketika para kepala sekolah datang, ternyata mereka tidak diperiksa terkait dana BOSP, melainkan diminta mengalihkan pekerjaan proyek.
Jika kepala sekolah menolak mengalihkan pekerjaan, maka mereka diminta menyerahkan fee kepada tersangka RS sebesar 20 persen dari anggaran.
Adapun total fee yang telah diserahkan 12 kepala sekolah SMKN di Sumut kepada tersangka B dan tim adalah sebesar Rp4,7 miliar.
“Salah satu barang bukti yang diamankan adalah uang tunai senilai Rp400 juta yang ditemukan di mobil milik tersangka RS,” jelasnya.