Khusus untuk bayi yang baru lahir, kata Ngabila, dapat dilakukan pemeriksaan respons pendengaran dengan tes suara yang sederhana atau selama 5–10 menit.
"Ada dua metode tes pendengaran bayi yang umum digunakan, yakni tes 'automated auditory brainstem response' (AABR) dan tes 'otoacoustic emissions' (OAE)," kata dia.
Hal tersebut dilakukan lantaran pada kondisi gangguan pendengaran bawaan sejak dalam kandungan dan dibawa sejak lahir (tuli kongenital) akibat genetik atau infeksi TORCH, misalnya, dapat dideteksi sejak bayi baru lahir.
"Perlu juga dilakukan koreksi atau tata laksana atau operasi segera sebelum anak berusia 3-6 bulan. Di atas itu tuli bisa permanen dan tidak dapat disembuhkan kecuali pakai alat bantu dengar," kata Ngabila.
Penanganan yang terlambat, kata dia, dapat menimbulkan gejala gangguan pendengaran seperti tidak kaget saat mendengar suara berisik dan nyaring, tidak merespons atau menoleh ke arah sumber suara terutama jika bayi berusia di bawah empat bulan.
"Kemudian lambat saat belajar berbicara, belum bisa menyebutkan satu kata pun meski telah menginjak usia satu tahun," kata dia.
Ia mengajak seluruh masyarakat untuk secara rutin memeriksakan kesehatan telinga setiap enam bulan sekali.
"Mari bersama jaga kesehatan telinga dan pendengaran dengan rutin melakukan skrining ke dokter per enam bulan dan sedini mungkin," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Praktisi kesehatan sampaikan rumus "60:60" untuk lindungi telinga