Tapanuli Tengah (ANTARA) - Baning cokelat atau dikenal dengan nama ilmiah Manouria emys, merupakan jenis kura-kura darat yang terbesar di Asia. Namun sayangnya hewan ini dinyatakan terancam punah sejak tahun 2000 oleh Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN).
Di tengah ancaman kepunahan itu, ternyata di perbatasan Hutan Lindung Batang Toru, tepatnya di Desa Sait Nihuta II, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, hewan ini masih dapat ditemukan, dan populasinya lumayan banyak. Hanya saja masyarakat setempat belum tahu jika kura-kura darat ini adalah Satwa yang dilindungi sesuai dengan Permen LHK Nomor: P.105/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018.
Atas ketidaktahuan masyarakat setempat, Satwa yang memiliki kaki seperti kaki gajah ini sering ditangkap dan dimakan.
Hal itulah yang mendasari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Tapanuli Tengah berjuang melakukan pendampingan kepada masyarakat setempat, agar Satwa langka itu jangan ditangkap maupun diburu.
Menurut Wakil Ketua Bidang Sumber Daya Manusia HPI Tapanuli Tengah, Damai Mendrofa yang diwawancarai beberapa waktu lalu di Pandan, Tapanuli Tengah, menjelaskan, sejak tahun lalu mereka sudah melakukan pemantauan di kawasan Desa Sait Nihuta II. Dan dua bulan terakhir ini mereka turun langsung ke masyarakat melakukan pendampingan.
Dari hasil pendampingan yang mereka lakukan, bahwa masyarakat yang ada di Desa Sait Nihuta II tidak tahu kalau Baning cokelat itu adalah Satwa yang dilindungi.
Dijelaskan Damai, respon masyarakat akan kehadiran mereka cukup baik. Hal itu dibuktikan dengan kerelaan warga untuk melepas Baning cokelat yang sudah sempat ditangkap. Hanya saja dilemanya, jika dilepas ke alam, masyarakat yang lain bisa saja menangkapnya lagi dan memakannya, karena masyarakat masih banyak yang tidak tahu akan larangan itu.
Atas kekuatiran itu, akhirnya mereka sepakati agar Baning cokelat itu dirawat di penangkaran sementara, karena nasibnya akan semakin rawan jika dilepas ke alam, karena ketidaktahuan masyarakat kalau Baning cokelat adalah Satwa yang dilindungi, dan ada sanksinya pidananya bagi yang melanggar.
Diungkapkan Damai, begitu mereka turun ke masyarakat melakukan pendampingan, HPI bersama dengan Yayasan Penjaga Pantai Barat sudah menyurati Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, agar dilakukan Konservasi di Desa Sait Nihuta II atau minimal mengeluarkan izin penangkaran dulu.
“Sembari menunggu balasan surat kami, HPI mengambil kebijakan dengan melakukan penangkaran sementara di salah satu tempat warga. Dengan harapan, Baning cokelat yang ditangkap warga dapat dikumpulkan di sana, menunggu pihak Balai turun memberikan pendampingan dan penjelasan tentang merawat Baning cokelat kepada masyarakat, karena merekalah yang lebih paham soal satwa ini,” katanya.
Ada pun warga yang bersedia lahannya dijadikan penangkaran sementara adalah Johan. Di mana dia memiliki 3 ekor Baning cokelat. Di tempat Johan sudah dibuat gua dan kolam berendam Baning cokelat, karena satwa ini suka berendam. Diharapkan, 5 ekor Baning cokelat yang ada di tangan warga Sait Nihuta saat ini, bisa disatukan di tempat penangkaran Johan.
HPI berkeyakinan, hanya dengan cara konservasilah Satwa yang sudah terancam punah itu dapat diselamatkan. Dan jika konservasi Baning cokelat dapat terwujud, maka itu akan menjadi satu-satunya konservasi Baning cokelat pertama di Indonesia. Dan itu menjadi nilai lebih khususnya bagi Kabupaten Tapanuli Tengah, umumnya bagi Provinsi Sumatera Utara.
“Hasil penelusuran kami sampai saat ini, belum ada konservasi untuk Satwa Baning cokelat di Indonesia. Semoga ini dapat terwujud dan menjadi yang pertama kalinya,” harap pria berusia 38 tahun itu.
Masih menurut penuturan Damai yang juga aktif di dunia jurnalis itu, bahwa bobot Baning cokelat yang ada di Taman Nasional bobotnya hanya 25 kilogram. Sedangkan menurut pengakuan warga setempat, bahwa di Desa Sait Nihuta II pernah mereka tangkap Baning cokelat bobotnya sampai 50 kilogram.
Memang jika dilihat geografis Desa Sait Nihuta II yang berada di atas ketinggian 700 meter dari permukaan laut, ditambah jenis hutannya yang padat, Baning cokelat pesat pertumbuhan dan bobotnya. Hal itu dibuktikan dengan bobot Baning cokelat yang diambil warga rata-rata bobotnya 5 kilogram, bahkan sudah ada yang sampai 7 kilogram.
“Sesuai informasi yang kami dapat, hanya di daerah tertentu Baning cokelat ini bisa hidup dan berkembang. Mungkin cuaca dan letak geografis Desa Sait Nihuta II sangat cocok sehingga Baning cokelat masih bisa ditemukan,” kata Damai.
Sembari menunggu izin dan survey dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Damai bersama 20 orang rekannya yang bergabung di HPI Tapanuli Tengah, terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait larangan menangkap Baning cokelat. Demikian juga dengan pemasangan spanduk dan diskusi bersama dengan warga gencar dilakukan.
“Kami cukup serius mendampingi masyarakat, karena masyarakat Desa Sait Nihuta II sudah menyerahkan ke kami penangkaran Baning cokelat ini. Dan kami juga terus berkoordinasi dengan pihak Balai, karena mereka lah yang tahu Standar Operasional Prosedur (SOP) penangkaran. Yang jelas, kami terus berjuang agar Konservasi ataupun penangkaran resmi Baning cokelat ini dapat terwujud,” tandasnya.
Damai pun mengakui, dengan adanya penangkaran bisa menimbulkan paradigma di kalangan masyarakat bahwa bisa menangkap Baning cokelat dan memeliharanya. Dan itu menjadi dilema. Hanya saja, demi menyelamatkan Baning cokelat yang sudah ada, langkah itu harus diambil, dari pada membiarkan Baning cokelat diburu para predator.
“Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Satwa langka ini hanya lewat Konservasi. Menunggu hal itu terwujud, harus ada kebijakan yang dilakukan,” ungkapnya.
Untuk itulah HPI mengharapkan dukungan dari berbagai pihak dan pemangku kebijakan, termasuk dari Tambang Emas Martabe untuk memberikan kontribusi pengembangan hewan di Desa Sait Nihuta II yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Batang Toru, mengingat di sana masih ada hewan langka, seperti Elang atap jambul, Merak sumatera, Harimau sumatera, dan Orangutan.
Selain itu, juga masih ada Bangkong bertanduk, Katak hidung panjang, Bunga bangkai, ragam tanaman herbal, ragam bunga, jenis pohon, Salak berduri, air terjun, dan sensasi mendengar ragam suara burung.
“Semoga perjuangan kita ini membuahkan hasil demi masa depan Baning cokelat, agar kelak cucu-cucu kita bisa mengenal Satwa langka ini,” harapnya.
Lantas apa kaitannya dengan Pariwisata? Menurut Damai, bahwa HPI adalah wadah tempat berkumpulnya pemandu wisata. Dan untuk kawasan Desa Sait Nihuta II konsep wisatanya adalah alam dan lingkungan. Dengan luas wilayahnya 131 km² dan jenis hutannya yang padat, sangat mendukung konsep wisata alam dan lingkungan.
Dengan hadirnya nanti Konservasi Baning cokelat di sana, akan menambah kelestarian lingkungan dan menyelamatkan Baning cokelat dari kepunahan.
“Konservasi ini pasti berdampingan dengan pariwisata. Tetapi kami pingin, wisata itu yang melindungi Konservasinya, bukan sebaliknya, Konservasinya yang melindungi wisatanya,” pungkas pria berambut gondrong itu. (Tulisan Ini Untuk Mengikuti Kompetisi Karya Jurnalistik 2021 Tambang Emas Martabe)