Jakarta (ANTARA) - Koordinator Fungsi Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja Badan Pusat Statistik (BPS) Parwoto mengatakan 8,68 persen atau sekitar 23,47 juta penduduk di Indonesia tidak berdomisili sesuai dengan Kartu Keluarga (KK).
“Dari data Sensus BPS 2020, kita mendapati bahwa 91,32 persen penduduk berdomisili sesuai dengan KK tetapi ada sekitar 8,68 persen atau sekitar 23,47 juta penduduk yang domisilinya tidak sama dengan KK,” kata Parwoto dalam webinar bertajuk Kajian Penduduk Tumbuh Seimbang 2024 secara daring di Jakarta, Senin (30/8)
Parwoto menjelaskan berdasarkan grafik provinsi, kesesuaian domisili dengan menggunakan alamat di KK, memiliki kecenderungan mobilitas dilakukan oleh penduduk laki-laki dibandingkan dengan penduduk perempuan.
Baca juga: Nilai ekspor sektor pertanian Sumut semester I 2021 menurunBaca juga: Nilai ekspor sektor pertanian Sumut semester I 2021 menurun
“Penduduk laki-laki lebih tidak sesuai (alamat pada KK) karena diduga memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan penduduk perempuan. Misal dalam bersekolah, bekerja baik migran serkuler atau wira-wiri,” kata dia.
Ia mengatakan berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1971-2020 terkait persentase penduduk Indonesia berdasarkan pulau, mobilitas penduduk banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Walaupun memiliki jumlah penduduk yang tinggi, namun luas Pulau Jawa relatif kecil.
“Sehingga memang ke depan pertumbuhan atau persebaran penduduk itu mestinya menjadi konsen pemerintah,” ujar dia.
Guru Besar dan Peneliti Senior LD Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Aris Ananta mengatakan pada abad ini, lebih banyak penduduk yang melakukan mobilitas ulang-alik (wira-wiri) dari satu daerah ke daerah lain untuk melakukan berbagai macam aktivitas sosial.
“Yang belum dibicarakan di internasional adalah penduduk yang wira-wiri. Yang tidak ada pola, ini belum dihitung tapi ini sangat mempengaruhi pembangunan di masa depan,” kata Aris.
Ia menjelaskan mobilitas yang juga disebut floating population itu saat ini belum dicacah atau dicatat dalam Sensus ataupun survei kependudukan milik pemerintah.
Jenis mobilitas tersebut, kata dia, padahal sangat mempengaruhi tingkat pembangunan suatu daerah karena menyangkut dengan kegiatan produksi dan konsumsi penduduk.
Deputi Bidang Pelatihan Penelitian dan Pengembangan Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Profesor Muhammad Rizal Martua Damanik juga mengatakan mobilitas penduduk Indonesia kini telah berubah dari mobilitas yang permanen menjadi mobilitas tidak permanen.
“Penduduk tidak harus menetap di daerah baru untuk dapat berintegrasi dengan perekonomian di daerah tersebut. Mereka mempengaruhi pasar kerja, pola konsumsi, pola produksi dan pola pembiayaan di daerah yang mereka datangi,” kata Rizal.
Ia mengungkapkan berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015, sekitar 65 persen penduduk migran merupakan penduduk usia produktif berumur 20 hingga 39 tahun.
Lebih lanjut, dia mengatakan sekitar tiga persen penduduk umur lima tahun ke atas, telah melakukan mobilitas ulang-alik, serta sekitar 22 persen melakukan mobilitas musiman.
“Selain itu, fenomena ulak-alik atau komuter dan mobilitas musiman oleh tenaga kerja juga semakin banyak terjadi,” kata dia menjelaskan kondisi mobilitas penduduk saat ini.