Jakarta (ANTARA) - Saat Nabi Ibrahim tertidur dalam suatu malam yang sunyi, ia bermimpi menyembelih dan mengurbankan putra kesayangannya. Anak yang selama ini ia dambakan dan dalam kesehariannya terus tumbuh cinta dan kasih sayang.
Nabi Ibrahim pun bangun dan begitu bingung menyikapi mimpinya. Ia mencoba merenungi dan memohon kepada Allah SWT untuk diberikan petunjuk. Ia kembali mendapati mimpi yang sama dan barulah meyakini bahwa itu semua merupakan perintah dari-Nya.
Nabi Ibrahim lantas menyampaikan mimpi tersebut kepada anaknya, Ismail. Mendengar pernyataan ayahnya itu, Ismail --kelak diangkat sebagai nabi-- dengan rasa cinta kasih dan tenang menjawab agar melakukan apa yang diperintahkan Allah Swt.
Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar'," (Surat As-Saffat ayat 102).
Sebagai ayah yang diperintahkan harus mengurbankan anaknya, tentu Nabi Ibrahim sedih, harus menyembelih seseorang yang selama ini ia nantikan. Tapi Ismail kembali menegaskan bahwa semuanya harus ikhlas demi memenuhi perintah-Nya.
Dengan ketaatan dan kesabaran bak samudera yang dimiliki keduanya, Allah kemudian tidak menghendaki penyembelihan itu terjadi dan mengganti kurbannya dengan seekor hewan.
Dari titik itulah kemudian kurban menjadi tradisi masyarakat Islam hingga saat ini yang diperingati setiap tanggal 10 Zulhijah. Sekaligus menegaskan, ketika keimanan dan keyakinan sudah melekat dalam jiwa, ia mampu mengalahkan segala kemauan yang bersifat rasionalitas. Allah Swt. akan memberi ganjaran yang lebih bagi umat yang bertakwa kepada-Nya.
Artinya, “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,” (Surat As-Saffat ayat 104-108).
Kurban, simbolik kemanusiaan
Sejumlah kebudayaan kuno melakukan persembahan dengan melakukan pengorbanan manusia. Persembahan itu diyakini untuk meminta sesuatu, termasuk agar membuat dewa-dewa senang.
Sejarah ini tercatat seperti yang dilakukan oleh suku Aztec dan suku Maya di Amerika Selatan. Mereka mengorbankan manusia baik dari anggota sukunya sendiri maupun budak sebagai sesembahan bagi dewa-dewa. Begitu pula dengan sejumlah suku lainnya yang melakukan hal serupa.
Islam sebenarnya hadir untuk menghapus segala praktik yang jauh dari rasa kemanusiaan itu. Lewat kuasa Allah SWT. yang mengganti Ismail dengan hewan kurban, menjadi penegas bahwa Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Kita harus mengangkat suatu poin penting, ada sebuah transformasi teologis yang sangat dahsyat. Sebelumnya, setiap tahun manusia harus dikorbankan, dan kini digantikan oleh hewan (kurban). Dari human sacrifice to animal sacrifice," ujar Imam Besar Masjid Istiqlal Nassaruddin Umar.
Kurban adalah momentum untuk menumbuhkan jiwa kemanusiaan dan sifat utama dengan berderma. Kurban juga untuk membangun peradaban yang luhur.
Kurban juga bermakna pengorbanan pada sesuatu yang dicintai yakni harta yang dimiliki seseorang. Dengan berkurban, artinya seorang Muslim memberikan sebagian hartanya untuk membeli hewan kurban, lalu menyembelihnya, dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
"Kalau idul Fitri itu kewajiban untuk memberikan karbohidrat, Idul adha adalah bentuk kontribusi dalam bentuk protein hewani. Di dalam simbolismenya gini, kelengkapan menu makanan kita ini ada aspek proteinnya dan ada aspek karbohidratnya. Pesannya adalah keutuhan umat, bagaimana menciptakan suatu umat yang berkualitas harus kaya protein," kata Nassaruddin.
Kurban dan pandemi
Idul Adha kali ini menjadi kedua kalinya yang mesti dilalui dalam masa pandemi COVID-19. Segala aktivitas masyarakat mesti dibatasi untuk menekan angka penularan COVID-19, begitu pula dengan tata cara peribadatan, khususnya Shalat Id dan kurban.
Pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Agama telah menerbitkan sejumlah panduan agar merayakan Idul Adha dan kurban dengan aman dan nyaman. Pemerintah tak melarang umat Islam untuk menjalankan ibadah Shalat Idul Adha maupun kurban, namun pelaksanaannya mesti diatur yang semata-mata demi melindungi semua orang.
Baca juga: Shalat Id berjamaah di luar PPKM Darurat hanya di zona hijau-kuning
Adanya pembatasan aktivitas ini, beragam cara dilakukan agar masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, masih bisa berkurban. Salah satunya melalui kurban Online.
Kurban online memudahkan masyarakat dalam menjalankan ibadah. Namun jangan membayangkan kurban online layaknya berbelanja di situs jual beli: hewan kurban diantar ke rumah. Masyarakat hanya cukup membayarkan hewan kurbannya dan pihak penyedia jasa akan mengurus seluruh prosesi.
"Pengkurban bisa cek hewan kurbannya disembelih di mana, dibagikan di mana. Itu lebih bermanfaat daripada hewan kurbannya disembelih di rumah-rumah mereka apalagi di masa pandemi ini," ujar Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Noor Achmad.
Baca juga: Aplikasi, "e-commerce" dan dompet digital penyedia kurban online
Dalam kaitannya dengan pandemi, sejumlah organisasi masyarakat menekankan agar ibadah kurban didedikasikan untuk menjawab permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Ada dua dimensi dalam pelaksanaan kurban yakni dimensi ketundukan dan ketaatan kepada Sang Pencipta dan dimensi menyebarkan kemaslahatan bagi banyak orang. Di masa pandemi ini, seluruh umat harus saling berpegangan tangan, berbagi kepada mereka yang membutuhkan.
"Pelaksanaan untuk tujuan kemanusiaan, maka harus dipastikan menjawab masalah kontemporer untuk mengoptimalkan kemaslahatan dalam aktivitas ibadah kurban ini," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh.
Dalam menjawab pesan rahmatan lil alamin, dua Ormas Islam yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bahkan mengajak masyarakat mendonasikan atau menyedekahkan dana kurbannya untuk membantu warga terdampak pandemi.
Ajakan itu dipertegas dalam surat edaran PBNU 4162/C.I.34/07/2021 dan SE Muhammadiyah Nomor 05/EDR/I.0/E/2021. Dua Ormas Islam terbesar di Indonesia ini menganggap bahwa menolong umat yang tengah kesusahan mestilah diprioritaskan.
Menurut NU dan Muhammadiyah, pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi dan meningkatnya jumlah kaum dhuafa. Pekerja pabrik, karyawan swasta, dan para pencari nafkah harian harus turun status menjadi orang miskin baru gara-gara COVID-19.
Mereka tidak saja kehilangan pekerjaan, tapi juga penyangga ekonomi keluarga. Tidak sedikit juga yang menjadi korban PHK dan terperangkap dalam jeratan utang yang kronis. Bantuan dari pemerintah dan lembaga swasta belum cukup mampu menopang dapur mereka untuk tetap berasap.
Kerelaan dan kesediaan untuk berkurban berupa sedekah bagi mereka yang membutuhkan adalah terapi ampuh untuk menata benang kusut persoalan hidup karena datangnya pandemi COVID-19 ini.
Kendati demikian, NU dan Muhammadiyah berada dalam satu nafas yang sama, tak melarang jika ada masyarakat yang akan tetap berkurban dan menyambut baik jika melakukan keduanya: kurban dan sedekah.
Karena bagi NU dan Muhammadiyah bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi dan pesan rahmatan lil alamin harus menjadi pijakan bagi seluruh umat Islam.
Baca juga: Muhammadiyah: Dana kurban bisa dialihkan bantu warga terdampak pandemi
Baca juga: PBNU ajak agar alihkan dana kurban untuk bantu warga terdampak pandemi