Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan HAM menyatakan mengikuti keputusan Presiden Joko Widodo untuk tidak membebaskan narapidana koruptor karena pandemik COVID-19.
"Pemerintah harus seirama. Jika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tidak ada rencana melakukan revisi terhadap ketentuan dimaksud, apalagi perintah Pak Presiden, maka Kemenkumham harus senada dengan keputusan tersebut," ujar Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja sama Sekretariat Jenderal Kemenkumham, Bambang Wiyono saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Senin.
Baca juga: Presiden tegaskan napi korupsi tidak dibebaskan karena COVID-19
Bambang mengatakan masih diperlukan pertimbangan dan kajian yang mendalam terkait pembebasan koruptor di tengah pandemik COVID-19 seperti sekarang ini.
Baca juga: Demi mengantisipasi agar tak terdampak Corona, Presiden: Seluruh warga wajib pakai masker saat di luar rumah
Baca juga: Presiden Jokowi minta Tito tegur kepala daerah yang memblokir jalan
"Masih perlu pertimbangan dan kajian yang mendalam, jangan sampai apa yang diputuskan bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku serta akan menimbulkan polemik," ucap dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah tidak berniat untuk membebaskan para narapidana korupsi karena pandemik COVID-19.
"Saya ingin menyampaikan bahwa mengenai napi koruptor tidak pernah kita bicarakan dalam rapat-rapat kita, jadi mengenai PP No. 99 tahun 2012 perlu saya sampaikan tidak ada revisi untuk ini," kata Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (6/4).
Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut dalam rapat terbatas dengan tema "Laporan Tim Gugus Tugas Covid-19" melalui video conference bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para menteri Kabinet Indonesia Maju serta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona (COVID-19) sekaligus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
"Pembebasan untuk napi hanya untuk napi pidana umum," ucap Presiden menegaskan.
Sebelumnya, ramai dibicarakan mengenai kemungkinan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam pasal 34 disebutkan bahwa narapidana korupsi yang berhak mendapat remisi adalah mereka yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly sudah menandatangani Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 pada 30 Maret 2020 bagi 30 ribu narapidana dan anak yang juga dapat menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan hingga Rp260 miliar.
Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) memrotes terkait kemungkinan pembebasan napi kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya dapat dibebaskan melalui revisi PP Nomor 99 Tahun 2012.
Menurut data ICW, jumlah narapidana korupsi juga tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya. Data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang di antaranya adalah narapidana korupsi.
Artinya narapidana korupsi hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan.
Yasonna sendiri sudah membantah hal tersebut dengan menyatakan napi pidana khusus juga dipertimbangkan dikeluarkan dari lapas/rutan, Permenkumham 10/2020 dan Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tidak boleh menabrak peraturan PP 99/2012.
Kemenkumham patuhi Presiden tidak bebaskan napi koruptor
Senin, 6 April 2020 13:41 WIB 1013