Jakarta (ANTARA) - “Belanjanya ini saja? Mau pakai kantong plastik? Berbayar ya Rp200,” kata- kata ini barangkali akan semakin sering didengar oleh mereka yang suka berbelanja di pasar swalayan jika cukai kantong plastik benar- benar diterapkan mulai 2020.
Cukai terhadap kantong plastik merupakan langkah yang diambil oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani mengendalikan untuk penggunaan kantong plastik yang disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Selasa (2/7).
Wanita yang pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengharapkan jika cukai kantong plastik diterapkan maka dapat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai mengingat Indonesia berada di posisi kedua peringkat dunia sebagai pencemar sampah plastik terbanyak di laut.
"Ini untuk mendorong orang pindah ke pemakaian yang berulang-ulang dan jenis kantong yang tidak terbuat dari plastik," kata Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menjelaskan salah satu alasan penerapan cukai plastik di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta, Selasa.
Tarif cukai kantong plastik yang diusulkan oleh Menteri Sri Mulyani sebesar Rp30.000 per kilogram atau jika tarif tersebut dihitung satuan seharga Rp200- Rp500 per lembarnya.
Rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI pun berakhir manis, di mana gagasan cukai plastik diterima dengan baik bahkan mereka menyarankan agar kebijakan fiskal itu diterapkan juga pada jenis plastik lainnya.
Berbeda dengan Komisi DPR RI XI, gagasan cukai plastik ini secara tegas ditolak oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang dipimpin oleh Menteri Airlangga Hartanto.
Kemenperin menilai dengan adanya cukai plastik dapat menurunkan daya saing industri di Indonesia karena masih banyak yang bergantung pada plastik sebagai bahan bakunya.
Jalan panjang plastik berbayar di Indonesia
Meski masih berupa rancangan, cukai plastik merupakan satu dari banyaknya upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai khususnya kantong plastik di Indonesia.
Kebijakan plastik berbayar dimulai pada 23 Februari 2016 diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggandeng 22 Pemerintah Kota untuk menerapkan aturan plastik berbayar di setiap toko ritel di kota- kota tersebut, setiap konsumen yang berbelanja di toko ritel harus membayar Rp200 untuk mendapatkan kantong plastik untuk membawa belanjaan mereka.
Jakarta, Surabaya, Bandung, Balikpapan, dan Makassar merupakan beberapa kota yang tergabung dalam kerja sama itu.
Hanya dalam hitungan dua bulan, kebijakan tersebut dihentikan karena hanya berupa uji coba yang diharapkan dapat dilanjutkan dan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) KLHK namun ternyata tidak ada tindakan lebih lanjut setelah tahapan uji coba selesai.
Pada Maret 2019, Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) kembali melakukan aturan serupa pada 40.000 anggotanya secara serentak di Indonesia, aturan tersebut diberi nama KPTG (Kantung Plastik Tidak Gratis).
“Ini adalah langkah nyata dari gerai ritel modern untuk mengajak masyarakat agar menjadi lebih bijak dalam menggunakan kantung belanja plastik, sekaligus menanggulangi dampak negatif lingkungan akibat sampah plastik," ujar Ketua Umum Aprindo Roy Mandey.
Selain itu, Beberapa daerah yang sudah terlanjur menerapkan metode plastik berbayar akhirnya mengembangkan gagasan itu dengan melarang penggunaan plastik sekali pakai dan menuangkannya menjadi peraturan daerah seperti di daerah Balikpapan, Banjarmasin, Jakarta, Bali, dan Bogor.
Kehadiran Perda pelarangan plastik dan rancangan cukai plastik ini akhirnya menjadi tantangan baru bagi pelaku industri yang bergantung pada plastik, mereka harus memutar otak agar bisnis dan iklim persaingan tetap meningkat dan berjalan dengan baik.
Efektivitas Cukai Plastik
Rancangan cukai plastik yang hendak dibuat menjadi Peraturan Menteri Keuangan oleh Menteri Sri Mulyani nampaknya masih perlu diteliti lebih mendalam lagi agar dapat efektif mengurangi pemakaian plastik sekali pakai tanpa menganggu iklim industri yang berpengaruh pada ekonomi negara.
Beberapa hal yang harus diteliti secara mendalam mulai dari segi harga, dampak terhadap industri, serta dampak terhadap lingkungan.
Terkait harga, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan harga yang diusulkan oleh Menteri Sri Mulyani cenderung inelastis berdasarkan hukum elasicity of demand atau dikenal dengan elastisitas permintaan.
"Kecenderungan masyarakat kelas menengah untuk berbelanja di pasar swalayan, dengan besaran Rp200 hingga Rp500 ini tidak akan terlalu banyak mengubah perilaku penggunaan kantong plastik," kata Fithra kepada Antara di Jakarta, Kamis (4/7).
Menurut dia, Indonesia perlu mencontoh negara lain yang berhasil menerapkan kebijakan serupa seperti Jepang.
"Satu plastik bisa sampai 100-200 yen setara dengan Rp10.000-Rp20.000. Plastik ukuran besar bisa sampai 500 yen, ini pun jenis plastik untuk sampah," ujar Fithra menjelaskan besaran harga yang elastis untuk mengubah pola pengguna plastik sekali pakai di Negeri Bunga Sakura itu.
Selain dari segi efektivitas harga dalam mengubah perilaku konsumen, Menteri Sri Mulyani juga harus berkoordinasi secara langsung dengan kementerian lainnya yang terdampak jika kebijakan cukai plastik ini diterapkan terutama kementerian industri.
Direktur Eksekutif CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia Mohamad Faisal mengharapkan adanya koordinasi antar kementerian sehingga tidak terjadi penolakan antar kementerian seperti yang terjadi dengan perindustrian.
Menurut dia, cukai plastik akan sangat berdampak pada industri yang bergantung pada plastik sebagai salah satu bahan baku industri.
Faisal mencontohkan seperti industri makanan dan minuman yang didominasi oleh kemasan plastik akan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi jika cukai plastik benar- benar diterapkan untuk seluruh jenis plastik.
"Ya Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan pihak-pihak terkait jika ingin mengeluarkan sebuah kebijakan sejenis ini harusnya berkoordinasi terlebih dahulu, terutama menyangkut masalah ekonomi," kata Faisal kepada Antara lewat sambungan telepon di Jakarta, Kamis (4/7).
Hal yang perlu dikaji lebih mendalam terkait jenis- jenis kantong plastik yang akan dikenakan cukai oleh Kementerian Keuangan yang dapat berdampak kepada lingkungan.
Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira mengatakan cukai terhadap plastik berjenis oxodegradable yang dianggap ramah lingkungan karena mudah terurai dan akan diberikan tarif cukai rendah oleh Menteri Sri Mulyani dianggap tidak tepat.
“Iya terurai lebih cepat, secara kasat mata hilang, tapi kan mikroplastik yang dihasilkan malah semakin banyak dan mengancam kehidupan di bawah laut kan?” kata Tiza.
Mikroplastik merupakan plastik yang sangat kecil dan tidak kasat mata berukuran 5 mili meter dan termasuk dalam kategori kandungan yang mencemari lingkungan.
Salah satu dampak dari mikroplastik yang sudah dirasakan oleh Indonesia saat ini adalah penurunan harga jual ikan- ikan akibat terpapar kandungan mikroplastik itu.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Kajian Strategis Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia Niko Amrullah pada Juni lalu.
"Di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan sebanyak 25 persen ditemukan ikan yang mengandung plastik, ini menurunkan daya jual ikan," kata Niko.
Jika cukai plastik memang harus ditetapkan setidaknya antar kementerian yang terkait dengan kebijakan fiskal ini saling berkoordinasi agar menghasilkan sinergi ekonomi yang baik dan dapat diterapkan secara efektif.
Tidak hanya itu, penetapan cukai plastik ini juga tidak terlepas oleh pola masyarakat dalam menggunakan plastik sekali pakai sehingga sebagai Warga Negara Indonesia sudah seharusnya mengurangi penggunaan plastik untuk menciptakan Indonesia bebas sampah plastik.