Palestina kembali menjadi isu pokok yang diangkat dalam forum politik internasional.
Polemik Yerusalem yang dijadikan sebagai Ibukota Israel sesuai dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sebenarnya telah berlangsung sejak lama.
Namun persoalan ini tak kunjung selesai sekalipun telah dibahas berulang kali dengan beragam kecaman, resolusi demi demi resolusi, tahun demi tahun.
Umat perlu jeli menilik permasalahan yang terus menimpa Palestina selama puluhan tahun ini. Segala bentuk kesepakatan yang ditawarkan dunia tidak akan sanggup menyelesaikan permasalahan tersebut jika tidak mengakar pada persoalan mendasarnya.
Faktanya, warna resolusi yang ada hanyalah menyinggung persoalan yang lebih bersifat teknis seperti perbatasan, status
Kota Jerusalem, dan bantuan moril yang selama ini juga telah dilakukan.
Menurut Budi Mulyana, pengamat hubungan internasional, Israel sudah sedemikian mencengkram dan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dianggap sebagai realitas yang tidak bisa diubah.
Walhasil dosa sejarah masa lampau tidak menjadi cermin untuk mendapatkan solusi yang mendasar dari persoalan Palestina ini. “Lalu apa kekuatan OKI dengan 57 anggotanya?â€.
Sungguh, persoalan mendasar yang terjadi adalah penjajahan Israel terhadap Negeri Palestina. Inilah polemik Yahudi dengan Islam, bukan hanya persoalan batas Negara, sehingga Two state solution bukanlah jawaban hakiki yang dibutuhkan warga Palestina saat ini.
Sayangnya, dasar persoalan ini justru tak diangkat dalam forum OKI, bahkan kesepakatan yang lahir tidak mengikat secara hukum internasional sehingga tidak akan ada sanksi apapun bila dokumen resolusi tidak berhasil diimplementasikan. Two state solution (solusi dua Negara).
Artinya membagi tanah Palestina menjadi dua bagian, satu untuk Palestina dan satu lagi untuk Israel, dengan harapan kedua Negara tersebut dapat hidup berdampingan secara damai. Bagaimana Islam memandangnya?
Pertama, ini merupakan solusi yang tidak dapat dibenarkan, sama saja dengan kita mengakui keberadaan Negara Israel di tanah milik kaum Muslim dan menyerahkan sebagian tanah Palestina kepada Zionis Israel.
Kemerdekaan semu yang menjadi ruh "two-state-solution" itulah yang justru menjadi akar masalah polemik di Palestina, maka solusi ini hanya akan membuat umat Islam berputar pada persoalan yang sama.
Selain itu, ini memang merupakan langkah politik pragmatis ala Negara-Negara kapitalis yang mengadopsi taktik Amerika Serikat (AS) dalam melindungi anak emasnya Israel.
Kedua, Yerusalem merupakan bagian dari tanah Palestina, statusnya jelas dimiliki oleh kaum Muslim, dan haram hukumnya jika diberikan kepada Israel. Sudah jelas bahwa status tanah Palestina adalah milik kaum Muslim dan hukumnya haram jika diberikan kepada Israel.
Perlu diingat kembali, konflik Palestina-Israel ini bukan hanya soal perbatasan, maka sekalipun Israel berhasil menduduki seluruh tanah Palestina, mereka tidak akan berhenti melakukan serangan pada warganya.
Satu-satunya solusi konkrit dan tuntas untuk persoalan ini hanyalah dengan perlawanan terhadap penjajahan entitas Yahudi. Perlu kekuatan para tentara kaum Muslim untuk menyelamatkan Palestina dan mencabut eksistensi Israel darinya.
Namun hal tersebut merupakan langkah politis yang hanya mampu diwujudkan secara substantif dan komprehensif oleh Khilafah sebagaimana yang dilakukan para Khalifah sebelumnya terhadap tanah Palestina. Wallahua'lambishawab.
{Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Pengasuh 'Inspiring Muslimah Community' Sumatera Utara)