Tangguh menghadapi bencana, itulah kondisi yang diimpikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kalimat pendek yang mudah diucapkan, tetapi masih memerlukan upaya panjang untuk mewujudkannya.
Untuk apakah ketangguhan itu dibutuhkan?
Berdasarkan geografis, Indonesia merupakan negara paling rawan terhadap bencana. Hal itu disebabkan negeri ini berada di atas tiga lempeng bumi dengan keberadaan gunung api paling banyak yakni 127.
Keberadaan lempeng bumi tersebut menyebabkan Indonesia sangat rentan mengalami gempa bumi. Ironisnya, dengan keberadaan wilayah yang dikeliling lautan, tidak sedikit gempa tersebut berpotensi tsunami.
Data yang dimiliki BNPB berdasarkan peta ancaman dan Sensus Penduduk 2010, tercatat lebih dari 150 juta penduduk terpapar potensi bahaya gempa bumi dengan kategori kelas tinggi dan lebih dari 50 juta terpapar potensi bahaya banjir.
Ironisnya, peristiwa bencana di Tanah Air tersebut memang memiliki kecenderungan naik dalam 20 tahun terakhir.
Masyarakat belum siap
Dalam Forum Komunikasi Wartawan yang digelar BNPB baru-baru ini, jurnalis Kompas Ahmad Arif memaparkan hasil penelitiannya yang berkesimpulan bahwa rakyat Indonesia belum memiliki kesiapan menghadapi bencana.
Selain karena mengabaikan kearifan lokal, kondisi itu juga disebabkan rakyat Indonesia belum memiliki pemahaman mengenai bencana, baik indikasi, jenis, mau pun langkah yang diperlukan ketika ada tanda-tanda jika bencana akan datang.
Kondisi itu diperparah dengan minimnya literasi tentang bencana. Dalam dunia informasi di Tanah Air, literasi tentang kebencanaan seolah-olah terpinggirkan.
Masyarakat sepertinya lebih tertarik dengan "keseksian" informasi mengenai politik, hukum, bahkan entertainment.
Kondisi itu menyebabkan masyarakat hampir tidak tahu tentang bencana. Dampaknya justru sangat fatal, kerusakan dan korban yang muncul bisa sangat mengerikan. Kondisi itu dapat dilihat dari perbandingan tsunai Sendai di Jepang pada 2011 dengan tsunami Aceh pada 2004.
Sebelum tsunami Sendai, tercatat adanya 349 artikel yang muncul untuk menyadarkan masyarakat mengenai gejala, dampak, dan langkah yang diperlukan jika ada tanda-tnada tsnuami.
Ternyata, hasilnya cukup "menggembirakan". Meski tsunai itu melanda daerah yang padat penduduk dan ketinggian airnya lebih besar, tetapi peristiwa yang terjadi pada 2011 itu "hanya" menyebabkan korban tewas sekitar 20 ribu orang.
Keberdasilan dalam meminimalisir korban karena masyarakat Jepang sudah sangat familir dengan tsunami, masyarakat di negara itu juga sudah terbiasa dengan simulasi tsunami.
Kondisi itu jauh berbeda dengan tsunami Aceh. Sebelum bencana itu terjadi, hampir tidak ada satu pun media dan literasi lain yang menginformasikan tentang bencana itu.
Kondisinya sangat fatal, ratusan ribu warga tewas dan hilang setelah tsunami tiba-tiba menyerang. Ternyata, ketidaktahuan itu bisa sangat mematikan.
Perbandingan itu juga dapat dilihat dari gempa di Selandia Baru pada 2016. Meski negara itu dilanda gempa berkekuatan 7,8 SR, tetapi warga yang tewas hanya dua orang.
Bandingkan dengan gempa di Pidie Jaya, Provinsi Aceh yang "hanya" berkekuatan 5,5 SR. Namun warga yang tewas mencapai 104 orang.
Jika melihat perkembangan terkini, mungkin kita layak menertawakan diri sendiri karena kesiapan dan upaya menciptakan ketangguhan menghadapi bencana belum menjadi perhatian serius yang perlu diwujudkan dalam bentuk kebijakan. Padahal, hampir semua sudah mafhum, wilayah Indonesia sangat rawan terhadap bencana.
Menunggu keseriusan pemda
Setelah melihat kondisi itu, kita layak mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan ketangguhan menghadapi bencana.
Jika melihat kebijakan yang telah dilakukan, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menilai, pemerintah daerah (pemda) kurang serius dalam menyiapkan penanganan bencana meski potensinya sangat besar dan merata di seluruh pelosok Tanah Air.
Di tingkat nasional, pemerintah pusat sudah menunjukkan keseriusan tersebut dengan menyiapkan segala kebutuhan BNPB dalam penanggulangan bencana.
Kondisi itu sangat disayangkan karena kondisi yang ada cukup rawan dan potensi bencana tersebut cukup besar.
Indikasi belum seriusnya pemda itu dapat dilihat dari belum masuknya upaya menyiapkan ketangguhan untuk menghadapi bencana dalam Rancana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Kalau upaya penanganan dan menciptakan ketangguhan mewujudkan ketangguhan tersebut menjadi prioritas dan masuk dalam RPJMD, dana penanganan pasti besar.
Data yang dimiliki BNPB, dalam semester kedua 2017 tercatat 1.417 bencana yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air.
Dalam semester tersebut, tercatat 216 orang meninggal dunia dan hilang akibat bencana, sedangkan puluhan ribu rumah mengalami kerusakan dengan kategori berat, sedang, dan ringan.
Belum lagi data penduduk yang terpapar bahaya dengan kategori kelas rendah hingga tinggi.
Selain potensi bencana yang besar karena Indonesia berada diatas tiga lempeng dunia, potensi bencana juga muncul akibat perubahan iklim yang sangat sulit diprediksi belakangan ini.
Iklim sudah berubah. Meski Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirkan sebagian besar wilayah memasuki musim kemarau, justru banyak daerah yang mengalami banjir.
Kemudian, peristiwa bencana dan fenomena alam yang terjadi di Indonesia belakangan ini seolah-olah menafikan teori geografis yang ada.
Contohnya teori daerah tropis yang biasanya tidak ada peristiwa puting beliung dalam bentuk besar atau hujan es.
Namun buktinya, peristiwa pernah muncul di Nagari Kampung Dalam, Kecamatan Danau Kembar, Kabupaten Solok pada 21 Juli 2015.
Demikian hujan es yang mulai muncul. Belakangan peristiwa itu terjadi di Bandung pada 17 Maret 2017.
Direktur Tanggap Darurat BNPB Junjungan Tambunan menilai, keterlibatan dan keseriusan pemda dalam mewujudkan ketangguhan bencana sangat dibutuhkan, bahkan perlu menjadi garda terdepan.
Pemda yang mengetahui kondisi di wilayah paling layak menentukan status jika ada bencana. Jika status itu ada, tentu akan diikuti kebijakan lanjut seperti pendirian posko.
Setelah itu, akan ada "insiden commander" untuk menjalankan operasi untuk mengatasi kondisi yang darurat. Prinsip, biar pun darurat, tapi ada manajemennya. Itulah peranan yang dibutuhkan dari pemda.
Karena itu, BNPB selalu mendorong pemda untuk serius dan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan ketangguhan menghadapi bencana.
Namun, jika melihat kondisi terkini, upaya itu nampaknya masih harus menempuh jalan yang panjang.