Tapanuli Selatan (ANTARA) - Bencana banjir bandang dan topan Senyar yang melanda kawasan Batang Toru, Tapanuli, tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga memunculkan risiko baru bagi keanekaragaman hayati Sumatra serta keselamatan masyarakat yang bergantung pada Ekosistem Batang Toru. Perubahan lansekap pascabencana ini menjadi peringatan penting bahwa respons kebijakan yang cepat, terkoordinasi, dan berbasis data semakin mendesak.
Dalam siaran pers yang terima Senin (22/12) di Sipirok, Konservasi Indonesia (KI) menilai tekanan terhadap ekosistem Batang Toru berpotensi meningkat jika upaya pemulihan dilakukan secara parsial. Oleh karena itu, kajian ilmiah, evaluasi perizinan, penataan ruang yang adaptif, serta restorasi ekosistem perlu dijalankan secara terpadu agar risiko ekologis dan sosial tidak terus berulang.
Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, menegaskan bahwa peristiwa bencana di Batang Toru menunjukkan keterkaitan erat antara perlindungan lingkungan dan keselamatan manusia. Menurutnya, perlindungan ekosistem, penataan ruang adaptif, serta pengelolaan risiko bencana harus berjalan seiring agar pembangunan benar-benar berkelanjutan.
KI menilai perubahan lansekap pascabencana menuntut pendekatan berbasis data dalam perencanaan ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Tanpa pemahaman yang akurat terhadap perubahan fisik kawasan, risiko ekologis dan sosial berpotensi terus terjadi meskipun upaya pemulihan dilakukan.
Beberapa risiko baru yang muncul antara lain meningkatnya fragmentasi habitat akibat longsor dan pembukaan lahan, perubahan alur sungai dan kawasan sempadan, serta meluasnya aktivitas manusia ke area yang semakin rentan. Kondisi ini berpotensi mengganggu ruang jelajah satwa liar dan meningkatkan konflik manusia-satwa di sekitar kawasan Batang Toru.
Sumatra Policy Manager Konservasi Indonesia, Dedy Iskandar, menyampaikan bahwa pascabencana wajar muncul berbagai pertanyaan publik, termasuk terkait temuan kayu di desa-desa terdampak. Ia menekankan bahwa isu tersebut perlu dijawab melalui pendekatan berbasis bukti dan kajian komprehensif agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam mengambil kebijakan.
Menurut Dedy, kajian spasial pascabencana menjadi fondasi penting untuk memahami perubahan tutupan hutan dan lahan secara objektif. Namun, ia menegaskan bahwa peta saja tidak cukup, sehingga diperlukan kajian menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang agar penataan ruang ke depan benar-benar menyesuaikan kondisi ekologis terkini.
Dalam konteks ini, KI menilai Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (POKJA EBT) memiliki peran strategis untuk bergerak lebih cepat dan terkoordinasi lintas sektor. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru dinilai perlu segera didorong sebagai rujukan bersama dalam pemulihan, penataan ruang, dan perlindungan kawasan.
Sementara itu, Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia, Doni Latuparisa, menekankan bahwa pengelolaan ekosistem Batang Toru sangat bergantung pada kondisi desa-desa di sekitarnya. Kerusakan wilayah pinggiran yang tidak tertangani berpotensi meningkatkan tekanan terhadap kawasan inti ekosistem.
Doni menambahkan bahwa penataan ruang pascabencana perlu melibatkan lintas sektor, termasuk Kementerian PUPR, mengingat keterkaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai, infrastruktur, dan mitigasi bencana. Ia juga menegaskan pentingnya keutuhan ekosistem Batang Toru dengan luasan sekitar 240.000 hektare sebagai batas minimum agar fungsi ekologis tetap berjalan optimal.
Berdasarkan analisis KI, dalam lima tahun terakhir telah terjadi pembukaan lahan sekitar 10.000 hektare di ekosistem Batang Toru, dengan lebih dari 73 persen berada di wilayah hulu pada ketinggian di atas 700 mdpl. Kondisi ini menegaskan perlunya penataan ruang yang lebih adaptif agar perlindungan kawasan dan aktivitas masyarakat dapat dikelola secara terpadu.
KI menilai perubahan lansekap pascabencana harus direspons secara kolaboratif dan berbasis data, guna menjaga Batang Toru sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati Sumatra sekaligus menciptakan ruang hidup yang lebih aman bagi masyarakat di sekitarnya.
