Tanjung Balai (ANTARA) - Kasus dugaan salah diagnosis medis terhadap anak usia 4 tahun (meninggal) dibahas dalam rapat dengar pendapat (RDP) lintas Komisi DPRD Kota Tanjung Balai, yang dihadiri penasihat hukum dan keluarga korban, RSUD, Dinas Kesehatan dan Puskesmas, serta Tim Hanif (lembaga pemerhati sosial), berlangsung di gedung dewan setempat, Jum'at.
Dalam RDP yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Surya Darma AR, dan dihadiri Ketua Komisi C Martin, serta sejumlah anggota dewan lainnya, keluarga korban anak diduga salah diagnosis meminta agar dilakukan autopsi terhadap jenazah anaknya yang divonis terinfeksi difteri tanpa hasil uji laboratorium.
"Sampai saat ini tidak ada uji laboratorium menyatakan anak meninggal karena difteri. Untuk pembuktian, kami bersedia dilakukan autopsi terhadap jenazah," kata Andrian Hanif mewakili Efri Zuandi orang tua korban.
Permintaan autopsi tersebut dilontarkan menyusul pernyataan Kepala Puskesmas Semula Jadi, dr Tengku Mestika Mayang, yang menyatakan bahwa virus difteri mampu bertahan selama enam bulan meskipun indungnya (penderita) telah meninggal.
Dalam RDP tersebut, penasihat hukum keluarga korban, Frans Handoko Hutagaol bersama rekannya Rina Astati Lubis juga mendesak agar dr Johan (spesialis anak) maupun pihak RSUD Tengku Mansyur menyerahkan bukti diagnosis medis, bahwa anak yang meninggal karena terinfeksi difteri.
Frans menegaskan, diagnosis medis korban terinfeksi difteri secara tertulis terhadap anak meninggal maupun kepada kakak serta adik yang meninggal juga divonis difteri oleh dr Johan tidak pernah diserahkan kepada pihak keluarga.
"Sementara hasil laboratorium di rumah sakit Lam Wah Ee di Malaysia, kakak dan adik korban hanya menderita radang amandel, sehingga menimbulkan asumsi bahwa vonis difteri merupakan kesalahan diagnosis," kata Frans Handoko Hutagaol.
Pantauan di gedung dewan, RDP tersebut sempat memanas setelah salah seorang anggota dewan dinilai berpihak kepada dokter dan terkesan menyudutkan keluarga anak yang divonis dipteri tanpa hasil uji laboratorium, melainkan kasat mata dari ciri-ciri orang yang terinfeksi difteri.
Karena situasi memanas dan diwarnai saling adu pendapat antara penasihat hukum keluarga korban dan anggota dewan, pimpinan RDP, Surya Darma AR menutup rapat dan menyatakan akan menjadwal ulang RDP.
"Berhubung waktu kita terbatas dan sebentar lagi Shalat Jum'at, rapat dengar pendapat ini kita tutup. Nanti akan kita jadwal ulang pada pekan depan," kata Surya Darma.
Diinformasikan sebelumnya, Efri Zuandi dan istrinya Yuli Andriyani warga Kecamatan Sei Tualang Raso Kota Tanjung Balai anak menganggap putrinya korban salah diagnosis medis oleh dr Johan dan malpraktik RSUD Tengku Mansyur Tanjung Balai serta RS-USU Medan.
Peristiwa memilukan itu berawal pada Selasa, 14 Januari 2025, anak perempuan Efri Zuandi usia empat tahun mengalami flu dan batuk disertai demam tinggi dibawa berobat ke RSUD Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai. Oleh dr Johan anaknya divonis terinfeksi difteri, sehingga dirujuk ke RS-USU.
Setibanya di RS rujukan, putrinya tidak segera mendapat penanganan, bahkan sempat terlantar lebih kurang dua jam, dan pada akhirnya meninggal dunia dengan diagnosa medis terinfeksi difteri yang dikeluarkan dr Johan.
Tanpa swab, PCR dan uji laboratorium, dua orang putrinya juga didiagnosa terifenksi difteri. Namun hasil uji laboratorium di Rumah Sakit (RS) Lam Wah Ee, Pulau Penang, Malaysia, kedua putrinya dinyatakan hanya menderita radang amandel. Melalui penasihat hukumnya, keluarga Efri Zuandi melakukan upaya hukum menuntut keadilan.