Medan (ANTARA) - Kepolisan Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut), memastikan bahwa berkas perkara dugaan penggelapan senilai Rp8,6 miliar di Bank Mega diduga turut melibatkan karyawan PT Kelola Jasa Artha (PT Kejar) Irvan Rihza Pratama, hingga kini masih diproses dan tidak mengalami kendala.
“Kan dua alat bukti sudah ada, sebenarnya ditanyakan apa bunyi P-19-nya,” ujar Kabid Humas Polda Sumut Kombes Ferry Walintukan ketika dihubungi dari Medan, Rabu (30/4).
Ferry mengatakan berkas tersebut sebelumnya telah dikembalikan (P19), pada bulan Maret 2025 oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut). Namun, penyidik sudah menindaklanjuti dengan pemanggilan saksi-saksi.
“P-19 bulan Maret, dan sudah ditindaklanjuti dengan pemanggilan saksi-saksi,” jelas dia.
Ketika ditanya mengenai informasi bahwa SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) atas nama Irvan telah dikembalikan oleh Kejati Sumut, Ferry menegaskan hal itu tidak otomatis berarti kasus dihentikan.
Ia menjelaskan bahwa proses hanya dihentikan secara resmi jika penyidik menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
“Kalau sudah keluar SP3, ya proses dihentikan. Tapi kalau ada bukti baru atau melalui praperadilan, perkara bisa dibuka kembali,” ujarnya.
Kendati demikian, pihaknya menegaskan bahwa hingga saat ini berkas perkara tersebut tidak ada kendala dan masih dalam proses, namun penyidik belum menyerahkan kembali berkas yang telah dilengkapi.
“Untuk kendala belum ada dan masih dalam proses, ke depan segera dikirim kembali berita pemeriksaannya dan setelah semua P-19 dipenuhi,” tegas Ferry Walintukan.
Sebelumnya, Kejati Sumut menyebutkan penyidik Polda Sumut tidak menindaklanjuti kelengkapan dari petunjuk jaksa terkait berkas perkara karyawan PT Kejar, Irvan Rihza Pratama dalam kasus dugaan penggelapan di Bank Mega.
“Terkait kasus tersebut, berkasnya sudah lama dikembalikan ke penyidik dengan petunjuk (P19). Namun, tidak ditindaklanjuti dengan melengkapi berkas," ujar Kasi Penkum Kejati Sumut Adre Wanda Ginting ketika dihubungi dari Medan, Selasa (29/4).
Ia menambahkan bahwa berkas tersebut telah dikembalikan ke penyidik Polda Sumut pada 4 Maret 2025. Namun, hingga kini penyidik belum menyerahkan ulang berkas tersebut ke jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sumut.
Berkas perkaranya (Irvan-red) sudah sempat diteliti jaksa penuntut umum (JPU), akan tetapi dikembalikan ke penyidik karena belum lengkap,” ujar dia.
Adre menjelaskan, pihaknya mengembalikan berkas perkara tersebut ke penyidik Polda Sumut pada 4 Maret 2025 lalu.
Sejak dikembalikan, kata Adre, penyidik hingga saat ini tidak kunjung menyerahkan berkas perkara ke JPU Kejati Sumut.
"Satu kali (P-19). Kemudian, sesuai perkembangan waktu, maka Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikembalikan ke penyidik. Dalam hal ini undang-undang mengatur batas waktu," tegas dia.
Ketika ditanya apakah penyidikan kasus ini sudah dihentikan atau diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), ia enggan menjawab. Namun, Adre mengatakan, bahwa SPDP dikembalikan karena ada batas waktu.
Kasus dugaan penggelapan ini sebelumnya telah menyeret terdakwa Yenny (47), selaku Supervisor Centralized Network Operations Kantor Bank Mega Regional Medan, dan telah divonis delapan tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, pada Rabu (30/4).
Terdakwa Yenny dinyatakan terbukti bersalah melakukan penggelapan dalam jabatan serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Johannes Turnip selaku penasehat hukum Yenny, menyatakan bahwa kliennya bukan satu-satunya pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini. Ia menilai, sejumlah pihak dari PT Kejar, termasuk Irvan Rihza Pratama, patut diproses hukum.
"Sesuai dengan dakwaan dan setelah pembuktian yang cukup panjang serta fakta persidangan, maka sudah selayaknya sebenarnya pegawai dari PT Kejar ditetapkan sebagai tersangka karena sudah memenuhi dua alat bukti,” ujar Johannes.
Ia menyebut dua alat bukti tersebut adalah keterangan para saksi di persidangan serta adanya peran Irvan dalam memfasilitasi proses pencairan dana bermasalah bersama Yenny.
"Pimpinan Bank Mega dan PT Kejar juga ikut bertanggung jawab, karena diduga terlibat atas kasus yang menjerat klien kami selaku pegawai Bank Mega,” ucapnya.
Johannes menambahkan, tidak adanya dasar hubungan kerja dan dokumen legal yang mengatur aktivitas Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) antara Bank Mega dan PT Kejar menjadi bukti lemahnya sistem pengawasan internal kedua institusi.
"Ada yang namanya teori agregasi dan teori kekuasaan, di mana kesalahan surat perjanjian kerja sama dan surat perintah kerja yang tidak dibuat merupakan tanggung jawab dari korporasi. Maka, ada unsur kelalaian yang harus dipertanggungjawabkan oleh direksi,” tutur dia.
Dia juga mempertanyakan peran pengawasan dari otoritas keuangan, khususnya Bank Indonesia, dalam mengawasi mekanisme operasional yang melibatkan uang kartal dalam jumlah besar antar institusi.
"Tentu kita meminta proses terhadap semua pihak, bukan hanya kepada Bank Mega dan PT Kejar. Jadi, kita pertanyakan juga pengawasan Bank Indonesia terhadap hal ini," tegas Johannes.