Medan (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara menolak eksepsi yang diajukan oleh Yenny (47) selaku pegawai Bank Mega atas kasus dugaan penggelapan dalam jabatan senilai Rp8,6 miliar.
“Menyatakan eksepsi terdakwa Yenny tidak dapat diterima,” ujar Hakim Ketua Joko Widodo di ruang sidang Cakra IV, PN Medan, Rabu (22/1).
Menurut majelis hakim, eksepsi terdakwa Yenny merupakan Supervisor Centralized Network Operations Kantor Bank Mega Regional Medan, tidak beralasan hukum dan menilai bahwa surat dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) Kejari Belawan telah cermat, jelas, dan lengkap.
Selain itu, majelis hakim menilai eksepsi terdakwa telah memasuki materi pokok perkara, sehingga perlu dibuktikan lebih lanjut.
“Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara. Menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir," jelas dia.
Setelah membacakan putusan sela, Hakim Ketua Joko Widodo menunda dan melanjutkan persidangan pada Rabu (5/2), dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
“JPU diminta menghadirkan saksi-saksi pada persidangan selanjutnya untuk dimintai keterangannya,” ujar Joko Widodo.
Sebelumnya JPU Serli Dwi Warmi dalam surat dakwaan menyebutkan, terdakwa terlibat dalam penggelapan uang yang menyebabkan kerugian sebesar Rp8,6 miliar di PT Bank Mega Tbk Regional Medan.
“Kasus bermula PT Bank Mega Tbk menjalin kerjasama dengan PT Kelola Jasa Artha atau PT. Kejar dalam hal Cash In Transit (CIT) dan Cash Processing Center (CPC) yang berlaku hingga 31 Desember 2023,” ujar dia.
Berdasarkan perjanjian ini, lanjut dia, PT Kejar bertugas untuk melakukan pengambilan dan pengantaran uang tunai milik Bank Mega kepada tujuan yang telah ditentukan, termasuk melakukan pemrosesan uang tunai seperti perhitungan, penyortiran, dan penyimpanan di pusat pengolahan uang (CPC) Bank Mega.
Pada 21 Mei 2024, terdakwa Yenny melakukan permintaan Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) melalui email kepada administrasi PT Kejar untuk mentransfer uang sejumlah Rp360 juta ke Bank Artha Graha.
Uang tersebut kemudian diantar menggunakan mobil Daihatsu Grandmax dan diterima oleh pihak Bank Artha Graha Cabang Medan Pemuda, sebelum akhirnya diserahkan kepada Bank Mega Medan Maulana.
“Tanpa prosedur yang sesuai, uang tersebut diterima oleh terdakwa Yenny di Bank Mega tanpa adanya tanda terima resmi,” sebut Serli.
Tidak hanya itu, terdakwa Yenny juga terlibat dalam beberapa transaksi serupa pada tanggal 22 Mei 2024.
Dalam salah satu transaksi, Yenny meminta PT Kejar untuk mengirimkan Rp350 juta ke Bank Danamon, yang kemudian diserahkan oleh saksi Muhammad Dayu Syahputra ke Bank Danamon Cabang Medan.
Namun, uang tersebut diterima oleh terdakwa Yenny tanpa adanya stempel resmi dari Bank Mega pada tanda terima.
Selain itu, pada tanggal yang sama, Yenny menginstruksikan pengiriman Rp460 juta ke Bank Mega Cabang Maulana Lubis.
Namun, perjalanan uang tersebut diubah secara tiba-tiba, dengan instruksi untuk mengantarkan uang ke Indomaret Kebun Bunga Kota Medan, dan akhirnya diterima oleh terdakwa Yenny tanpa prosedur formal yang seharusnya dilakukan.
Selanjutnya, pada tanggal 5 hingga 19 Juni 2024, terdakwa Yenny kembali melakukan serangkaian transaksi fiktif berupa permintaan TUKAB kepada PT Kelola Jasa Artha atau PT Kejar.
“Sehingga akibat perbuatan terdakwa Yenny, PT Bank Mega Tbk Regional Medan mengalami kerugian materil kurang lebih sebesar Rp8,6 miliar,” ujar Serli Dwi Warmi.