Medan (ANTARA) - Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara diketahui bekas gedung Landraad yang berdiri sejak tahun 1911 pada masa pemerintahan Hindia Belanda menyimpan banyak cerita dan sejarah panjang dalam setiap sudut gedungnya.
Gedung tua yang tampak kokoh dengan arsitektur klasik ini bukan hanya sekedar bangunan bersejarah, namun menjadi ‘saksi bisu’ perjalanan panjang sejarah hukum bagi pencari keadilan.
Bahkan, tempat di mana berbagai dinamika kehidupan bertemu, dari ketegangan sidang hingga harapan yang menggantung di hati para pencari keadilan di mana takdir hidup mereka ditentukan.
Mulai dari hukuman mati yang menghantui, hingga pembebasan yang membawa harapan baru bagi para terdakwa yang terjerat kasus tindak pidana.
Setiap hari, ruang sidang di Pengadilan Negeri Medan terbuka lebar bagi masyarakat yang ingin mendapatkan keadilan.
Dari kasus narkoba, korupsi, dan perdata hingga sengketa tanah yang ‘ditangani’ Pengadilan Negeri Medan menggambarkan betapa besar pengaruh keputusan pengadilan terhadap kehidupan banyak orang.
Di balik suasana formal, ada kasus-kasus yang membawa ketegangan, kecemasan, ketakutan hingga akhirnya menghasilkan keputusan yang tegas demi tegaknya keadilan.
Salah satunya adalah sidang yang berlangsung pada Kamis (19/12), di ruang Cakra IV, PN Medan yang melibatkan dua pemuda asal Aceh, yakni Tengku Musri (38) dan Mumfadzal (27), didakwa melakukan perantara jual beli narkoba dengan barang bukti 10 kilogram sabu-sabu dan 18.000 butir pil ekstasi.
Dalam ruang sidang yang dipenuhi pengunjung, penuntut umum, pengacara dan para terdakwa, Hakim Ketua Frans Effendi Manurung membacakan putusan yang sangat menentukan nasib kedua terdakwa itu.
Menurut hakim, perbuatan kedua terdakwa jika dibiarkan dapat membahayakan banyak orang, khususnya generasi muda.
“Menjatuhkan hukuman pidana mati kepada masing-masing kedua terdakwa,” ujar Frans dengan tegas.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan, majelis hakim meyakini kedua terdakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim menyatakan bahwa tidak ada hal meringankan perbuatan kedua terdakwa yang melakukan peredaran narkoba dalam jumlah besar.
Dua terdakwa yang mengenakan baju kaos merah bertuliskan “Tahanan Kejari Medan” itu tampak pasrah menerima vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim, meskipun wajah mereka seakan menunjukkan keputusasaan yang mendalam.
Vonis mati ini menjadi cerminan betapa beratnya hukuman terhadap pelaku tindak pidana narkoba, di mana keputusan hukuman mati bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga peringatan bagi mereka yang terlibat dalam jaringan narkoba.
Namun di balik hukuman mati, ada juga kasus yang mengandung kejutan, yakni kasus pemalsuan tanda tangan melibatkan pasangan suami istri (pasutri) di Medan, yakni Yansen dan Meliana Jusman.
Keduanya didakwa memalsukan tanda tangan direktur perusahaan CV Pelita Indah, yang mengakibatkan kerugian hingga Rp583 miliar dan dituntut lima tahun penjara.
Namun, majelis hakim tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Medan, dan memberikan putusan sebaliknya.
“Melepaskan kedua terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan,” ujar Hakim Ketua M. Nazir di ruang sidang Cakra IX, PN Medan pada Selasa (5/11).
Putusan ini mengejutkan banyak pihak, khususnya penuntut umum dan korban, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat pemalsuan dokumen tersebut.
Meskipun perbuatan kedua terdakwa terbukti, majelis hakim berpendapat bahwa tindakan tersebut bukanlah tindak pidana, melainkan masalah perdata.
“Memulihkan hak-hak kedua terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya,” ujar Nazir.
Vonis ini menunjukkan bahwa meskipun suatu perbuatan dapat merugikan, tidak selalu berarti bahwa perbuatan tersebut bisa dikenakan pidana.
Selain itu, vonis lepas ini juga dapat menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana hukum harus menilai setiap perkara dengan hati-hati dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.
Sebab, putusan ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan kedua terdakwa, tetapi juga mencerminkan bagaimana sistem peradilan berusaha untuk memberi perlakuan yang adil berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Setiap proses sidang di PN Medan menggambarkan dinamika yang kompleks dalam dunia hukum. Di satu sisi, ada yang dijatuhi hukuman mati, sementara di sisi lain, ada yang dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan.
Inilah yang membuat proses hukum di Indonesia, khususnya di Pengadilan Negeri Medan, begitu menarik dan penuh dengan ketidakpastian.
Bahkan, sejumlah pihak merasa bahwa putusan yang diberikan hakim tidak sesuai dengan harapan, sementara yang lain merasa bahwa keadilan akhirnya ditegakkan.
Meskipun keadilan tidak selalu datang dengan mudah, peradilan harus menegakkan prinsip equality before the law, yakni semua orang sama di mata hukum tanpa membeda-bedakan status sosial, ekonomi, maupun kekuasaan.