Lebih lanjut ia menyoroti jumlah ibu hamil dengan sifilis yang diobati masih rendah atau berkisar 40 persen. Sedangkan 60 persen lainnya tidak mendapatkan pengobatan sehingga berpotensi menularkan dan menimbulkan cacat pada anak yang dilahirkan.
“Rendahnya pengobatan dikarenakan adanya stigma dan unsur malu. Setiap tahunnya, dari lima juta kehamilan hanya sebanyak 25 persen ibu hamil yang di skrining sifilis. Dari 1,2 juta ibu hamil akhirnya 5.590 ibu hamil positif sifilis,” kata Syahril.
Dari situasi itu, kata dia, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat menghilangkan stigma buruk terhadap para pasien dan mendukung mereka segera melakukan pemeriksaan gratis yang telah disediakan fasilitas kesehatan pemerintah agar cepat mendapatkan penanganan atau obat yang dibutuhkan.
Hal lain yang perlu diupayakan berkelanjutan adalah memberikan pemahaman jika sifilis bisa dicegah dengan menggunakan alat pengaman, seperti kondom saat berhubungan seks dan menghindari perilaku seks yang berisiko.
Sebagaimana yang dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 46 tentang Kesehatan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
“Kalau pengobatan sifilis ada obat-obat yang digunakan tergantung tingkat klinisnya, mulai dari yang ringan hingga berat. Kalau ini diobati dengan baik, maka Insya Allah dia akan sembuh, terkendali, dan tidak menulari kepada orang lain, termasuk kepada bayi yang akan dilahirkan,” ucap Syahril.