Jakarta (ANTARA) - Pakar kesehatan anak Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengatakan pola asuh orangtua yang berpengaruh pada kematangan emosional, mental dan spiritual anak, ikut menentukan kuat atau tidaknya seorang anak berpuasa selama Ramadhan.
"Kalau anak terlalu dimanja ya enggak kuat-kuat dia, selalu diberi makanan, tidak pernah berhenti makan. Tetapi kalau anak diajar dengan pola asuh yang bagus, diajarkan misalkan keuntungan berpuasa seperti apa, itu anak-anak akan sanggup berpuasa," ujar dia dalam sebuah acara daring, Kamis.
Piprim yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu mengatakan, anak usia enam hingga tujuh tahun terutama perempuan umumnya memiliki kematangan emosi yang lebih cepat sehingga dapat kuat berpuasa sampai maghrib.
Sementara secara fisik, menurut dia, sebenarnya bayi baru lahir sudah kuat berpuasa. Pada hari-hari pertama bayi lahir, kolostrum atau makanan pertama bayi baru lahir yang keluar dari payudara ibu, baru keluar sekitar 20 hingga 30 cc per hari yang setara 25 kalori. Sementara bayi dengan berat tiga kilogram membutuhkan 300 kalori.
"Sisanya 275 kalori dari mana? Sudah disiapkan yang disebut lemak cokelat atau brown fat," kata Piprim.
Lemak cokelat ini merupakan cadangan energi yang ada pada bayi baru lahir yang digunakan sebagai bahan bakar otaknya. Lemak cokelat diubah menjadi energi untuk nutrisi otak.
Hanya saja, kendati secara fisik anak sudah kuat berpuasa, anak belum wajib berpuasa (belum akil baligh atau memiliki tanda menuju kedewasaan) sehingga orangtua tidak boleh memaksa anak berpuasa.
Piprim mengatakan, ketimbang memaksa, orangtua bisa mengajak belajar berpuasa dengan durasi yang didasarkan pada kemampuan anak, namun sebaiknya jangan terlalu sebentar misalnya hanya sampai jam 08.00. Pada anak usia taman kanak-kanak (TK) dan SD, mereka biasanya dapat kuat berpuasa sampai waktu dzuhur.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pola asuh orangtua ikut tentukan kuat atau tidaknya anak berpuasa