Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak RSUD Tarakan Jakarta dr. Mustari M, Sp.A meminta orang tua memantau produksi urine anak agar tidak terlambat mendeteksi kemungkinan mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA).
"Perhatikan misalnya anak ini makin hari makin jarang kencing atau anak-anak yang pakai popok kok makin hari jumlah yang basahnya semakin sedikit. Itu harus jadi perhatian," ujar Mustari dalam acara bincang-bincang kesehatan yang digelar daring diikuti dari Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan, pemantauan produksi urine harus dilakukan saat kebutuhan cairan anak dipastikan terpenuhi dengan baik. Sehingga, menurut dia, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memenuhi kebutuhan cairan apalagi jika anak mengalami demam.
"Demam kan biasanya kan terjadi peningkatan pengeluaran panas, artinya terjadi dehidrasi yang berlebih yang karena keringatnya banyak keluar. Akhirnya tubuh berupaya menahan cairan, sehingga urinenya sedikit," kata Mustari.
"Oleh karena itu, saat-saat begini, anak sedang demam kemudian kurang kencing, tetap yang harus diperhatikan adalah anak harus dalam keadaan terhidrasi cukup. Jadi kalau anak di rumah panas, perhatikan dulu minumnya bagaimana, sudah cukup atau belum," katanya.
Jika anak sudah dipastikan terhidrasi dengan baik namun produksi urine masih sedikit atau tidak sama sekali, Mustari mengimbau orang tua untuk segera membawa anak berobat ke dokter.
"Kalau misalnya sudah cukup tapi kencingnya masih kurang, maka itu mungkin (mengalami GGAPA). Silakan memeriksakan ke fasilitas kesehatan terdekat," katanya.
GGAPA, menurut Mustari, seringkali diawali dengan demam yang berlangsung antara 7-14 hari, diikuti dengan kurangnya frekuensi kencing bahkan tidak kencing sama sekali.
Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa per Sabtu (5/11), kasus GGAPA di Indonesia mencapai 324 kasus yang tersebar di 28 provinsi, terbanyak di DKI Jakarta dengan 83 kasus, Jawa Barat 41 kasus, dan Aceh 32 kasus.
Dari 324 kasus itu, 195 di antaranya meninggal dunia yang didominasi oleh pasien berusia 1-5 tahun yaitu sebanyak 130 dari total 190 kasus.
"Ini tentu jadi perhatian kita semua, karena bagaimanapun, satu nyawa anak itu sangat berarti," ujar Mustari.