Medan (ANTARA) - Albert Einstein berkata kegilaan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang namun mengharapkan hal yang berbeda.
Sistem desentralisasi fiskal telah diterapkan selama lebih dari dua dekade di Indonesia. Dalam implementasinya, desentralisasi fiskal belum optimal dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Hal itu mungkin terjadi karena belum sinerginya kebijakan fiskal nasional dengan pelaksanaan APBD oleh pemerintah daerah.
Jika desentralisasi fiskal terus dijalankan dengan kebijakan dan formulasi yang sama, maka tujuan desentralisasi fiskal dalam rangka pemerataan pembangunan nasional hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Tulisan ini akan mengulik redesign hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah setelah penetapan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Konsep Desentralisasi
Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah atau organisasi yang levelnya lebih rendah di daerah.
Setelah gerakan reformasi tahun 1998 berhasil menggulingkan rezim orde baru yang Jakarta-centris, Indonesia memulai era baru dalam sistem ketatanegaraan.
Maka, sejak tahun 2001, sistem pemerintahan berubah dari pemerintahan yang sentralistik ke sebuah sistem otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pemerintah pusat mendelegasikan sebagian kekuasan politik dan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah sesuai kewenangan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pelimpahan kekuasaan administrasi dan politik dalam rangka penyediaan layanan publik didukung dengan pemberian bantuan keuangan kepada pemerintah daerah.
Hal itu diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah dan tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Banyak pengamat mengatakan bahwa sistem desentralisasi dan otonomi daerah jauh lebih baik dari pada sistem pemerintahan yang terpusat. Hal itu karena pemerintah daerah secara geografis lebih dekat dengan masyarakat sehingga sangat memahami kebutuhan dan aspirasi daerah.
Terlebih lagi karena para kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di legislatif dipilih secara demokratis. Sehingga mereka akan jauh lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal.
Berdasarkan pemikiran dimaksud, secara logis para pejabat publik di daerah akan mengalokasikan sumberdaya finansial dan non-finansial kepada stakeholder secara efisien dan efektif.
Namun dalam implementasinya, desentralisasi fiskal selama ini dianggap sebagai kebebasan untuk membelanjakan dana sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah.
Hal itu tergambar dari besarnya porsi belanja pegawai yang direalisasikan untuk pembayaran gaji, tunjangan dan honor pejabat dan aparatur sipil daerah. Sementara porsi belanja modal pada APBD relatif kecil sehingga pembangunan infrastuktur di daerah lebih banyak mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat.
Jadi, selain pelaksanaan belanja daerah yang masih belum berkualitas, kemampuan keuangan daerah dalam memenuhi pelayanan publik juga masih rendah.
Redesign Desentralisasi Fiskal
Selain permasalahan di atas, implementasi desentralisasi fiskal masih menyisakan berbagai isu strategis yang perlu ditangani secara komprehensif.
Beberapa isu krusial tersebut antara lain (1) ketimpangan keuangan vertikal maupun horizontal, (2) tingginya gap pelayanan publik antara daerah maju dan daerah tertinggal, (3) besarnya ketergantungan pemerintah daerah kepada dana transfer karena belum optimalnya pendapatan asli daerah, (4) serta pelaksanaan anggaran daerah yang belum berkualitas (quality spending).
Lalu, pemerintah mencoba mengurai permasalahan di atas dengan melahirkan UU Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. UU HKPD didesain untuk mempertajam pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui beberapa kebijakan dan pengaturan.
Pertama, pemerintah berupaya meningkatkan kapasitas fiskal daerah melalui penguatan pajak daerah dan retribusi daerah. Peningkatan kemampuan keuangan daerah dilakukan melalui penajaman peran pemda dalam menambah sumber-sumber pendapatan asli daerah.
Perubahan kebijakan dimaksud dilakukan dengan simplifikasi dan restrukturisasi jenis dan tarif pajak dan retribusi daerah. Optimalisasi penerimaan daerah sangat penting untuk menambah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai program-program penyediaan layanan dasar publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Selain optimalisasi pendapatan asli daerah, pemerintah melakukan redesign pengelolaan transfer ke daerah untuk mengurangi ketimpangan antar daerah. Di samping itu, pemerintah melakukan reformulasi dana perimbangan agar penyaluran TKD dilakukan berbasis kinerja dan outcome kepada masyarakat.
Sebagai contoh penyaluran DAU akan dilakukan sesuai kinerja daerah dalam pencapaian layanan publik. Sehingga pemerintah daerah yang berkinerja baik dalam penyediaan layanan publik akan mendapat insentif fiskal sebagai upaya untuk mendorong pemerintah daerah untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas layanan publik di daerah.
Di sisi pengelolaan belanja daerah, pemerintah mendorong peningkatan kualitas belanja daerah. Peningkatan kualitas belanja daerah dilakukan melalui simplifikasi dan sinkronisasi program daerah. Saat ini pemda-pemda memiliki lebih dari 30 ribu program dan 270 ribu kegiatan.
Hal ini cukup menyulitkan pemerintah untuk mengukur kinerja pelaksanaan anggaran daerah karena masing-masing pemda membuat jenis program dan kegiatan yang berbeda-beda.
Melalui UU HKPD, nantinya pemerintah akan menyusun pedoman penyusunan program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh seluruh pemda. Pemerintah akan mengintegrasikan seluruh program dan kegiatan dimaksud melalui sistem informasi keuangan daerah.
Dengan adanya penataan dan sinkronisasi program daerah akan tercipta keseragaman dalam pengukuran kinerja belanja daerah.
Peningkatan kualitas belanja daerah juga dilakukan melalui pengaturan pengalokasian belanja daerah. Sebagai contoh, besaran alokasi belanja pegawai maksimal 30% dari APBD dengan masa penyesuaian selama lima tahun. Sedangkan porsi belanja modal diatur minimal sebesar 40% dari total belanja daerah di luar transfer ke daerah.
Penataan belanja daerah dilakukan agar pelaksanaan anggaran daerah lebih produktif dan fokus pada penyediaan layanan dasar publik.
UU HKPD juga mengatur sinergi fiskal nasional. Harmonisasi kebijakan APBN dan APBD dilakukan dalam rangka akselerasi pencapaian tujuan pembangunan nasional. Hal ini menjadi krusial mengingat semakin besarnya tantangan di masa yang akan datang.
Contoh nyata ialah bagaimana pandemi COVID-19 yang melanda dunia telah memukul perekonomian nasional yang berdampak pada timbulnya krisis di segala aspek kehidupan. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi tersebut, pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional.
Instrumen APBN bekerja keras untuk menopang perekonomian dimana defisit APBN dapat melampaui batas maksimal 3%. Selain itu pemerintah pusat melakukan refokusing anggaran untuk menanggulangi dampak pandemik tersebut.
Dalam kondisi APBN yang berdarah-darah akibat hantaman pandemic covid-19 tersebut, pemerintah pusat tidak dapat serta merta melakukan intervensi terhadap pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, belum ada kebijakan yang mengatur pengelolaan APBD apabila ada ancaman yang menyebabkan proyeksi dan target pendapatan nasional tidak tercapai.
Untuk menghadapi ancaman alam dan non-alam yang mengancam perekonomian nasional, perlu diatur secara jelas sinergi APBN antara APBD. Dimana sinergi kebijakan fiskal tersebut bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan fiskal nasional dengan fiskal regional dalam terutama kondisi darurat untuk menjaga kesinambungan fiskal.
Penutup
Desentralisasi bertujuan menciptakan pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok Indonesia. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan otonomi dan desentralisasi fiskal selama ini masih belum optimal dalam menciptakan pemerataan pelayanan dasar.
Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas serta ketersediaan infratruktur layanan publik lainnya seharusnya dapat dirasakan secara adil dan merata oleh setiap warga negara dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote.
Pemerintah menetapkan UU Nomor 1 tahun 2022 tentang HKPD sebagai upaya untuk mempertajam pelaksanaan desentralisasi fiskal. UU HKPD akan mendorong pemda dalam melakukan optimalisasi penerimaan daerah dan men-direct pemda dalam meningkatkan kualitas belanja daerah.
Selain itu, pemerintah mencoba memastikan agar seluruh APBD dapat dilaksanakan menuju arah yang sama dalam mencapai tujuan nasional. Dengan demikian harapannya ialah semua warga negara dapat merasakan dan menikmati layanan publik yang berkualitas di seluruh wilayah republik Indonesia.
Pertanyaan berikutnya ialah sejauh mana UU HKPD berimplikasi terhadap akselerasi pemerataan layanan dasar ke setiap sudut dan pinggiran wilayah kesatuan Republik Indonesia?
*) Kepala Seksi Bank, KPPN Medan II
UU HKPD: Re-design desentralisasi fiskal
Senin, 28 Maret 2022 23:12 WIB 15597