Padangsidimpuan (ANTARA) - Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.(Al-Hujurat:1). Orang beriman adalah orang yang bertaqwa, secara sederhana, taqwa bisa diartikan sebagai orang yang taat akan perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Tentunya tidak sulit untuk memahami ini, namun sejatinya, orang yang bertaqwa itu adalah orang yang semakin tinggi kehati-hatiannya dalam bersikap dan bertindak.
Sebagaimana Umar Bin Khottob bertanya tentang taqwa kepada Ubay Bin Ka’ab. “Hai Ubay, apakah itu Taqwa?”. Ubay Bin Ka’ab malah balik bertanya, “duhai Amirul mu’minin, pernah pernahkah engkau melewati jalan berduri?”. Amirul Mukminin menjawab, “tentu pernah”. “Apa yang engkau lakukan duhai Amirul Mukminin?” tanya Ubay. Umar Bin Khottob menjawab, “tentu aku akan berhati-hati melintasinya.” Maka Ubay pun melanjutkan penjelasannya bahwa taqwa itu ibarat orang yang melintasi jalan berduri. Harus senantiasa berhati-hati, memastikan tidak satu duripun tertancap di kaki.
Dengan demikian, orang bertaqwa adalah orang yang sangat berhati-hati dalam hidupnya, tentunya akan tetap berada dalam qur’an dan sunnah. Dalam kaitan inilah, kita juga memiliki rambu yang tidak boleh dilanggar, salah satunya adalah. Janganlah mendahului Allah dan Rasulnya. Lewat ayat ini, kita bisa fahami bahwa Allah SWT mengajarkan kepada kita tentang etika sopan santun, kita diperintahkan untuk menghormati baginda Rasulullah, memuliakan baginda Rasulullah, dan mengagungkannya.
Etika sopan santun tersebut dapat dimaknai juga dengan sikap tidak tergesa-gesa dalam menghadapi sesuatu, artinya segala urusan kita harus senantiasa merujuk pada tindakan Baginda Nabi Muhammad SAW. Karena baginda nabi sendiripun, tidak mau mengambil tindakan sebelum mendapatkan wahyu dari Allah SWT, yakni baginda Nabi terdiam sampai wahyu turun.
Dapat kita lihat pada asbabun nuzul ayat 115 Surah Al-Baqarah misalnya, terkait arah kiblat dimasa perang, Nabi memutuskan setelah menerima wahyu saat para sahabat sudah berijtihad menghadap kiblat ke Utara waktu itu, Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus suatu pasukan perang (termasuk di antaranya Jabir).
Pada suatu waktu yang gelap gulita, mereka tidak mengetahui arah kiblat. Berkatalah segolongan dari mereka: ‘Kami tahu arah kiblat, yaitu arah ini (sambil menunjuk ke arah utara).” Mereka salat dan membuat garis sesuai dengan arah salat mereka. Segolongan lainnya berkata:
“Kiblat di sebelah sana (sambil menujuk ke arah selatan).” Mereka salat dan membaut garis sesuai dengan arah salat mereka. Keesokan harinya setelah matahari terbit, garis-garisan itu tidak menunjukkan arah kiblat yang sebenarnya. Sesampainya di Madinah, bertanyalah mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal ini. Beliau terdiam. Maka turunlah ayat ini sebagai penjelasan atas peristiwa tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Ibnu Marwadaih, dari Al-Arzami, dari Atha’, yang bersumber dari Jabir).
Tentunya aturan dalam hidup ini sangat banyak, terkait makna yang dapat diambil dari janganlah mendahului Allah dan Rasulnya, Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka para sahabat dilarang berbicara di saat Rasulullah sedang berbicara, artinya apa, Ketika baginda Nabi telah tiada, dan kita diperdengarkan Qur’an dan Sunnah dalam dakwah, dalam ceramah dalam mimbar-mimbar agama, dalam majelis-majelis ilmu, tentunya kita dilarang untuk berbicara.
Namun yang terjadi, banyak ummat yang tidak menyadari ini, saat ceramah agama berlangsung, tidak sedikit juga ummat sibuk berbicara di tempat duduknya. Tidak hanya itu ternyata, dalam sholat sekalipun Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firmanNya Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya (AlHujurat 49:1), yaitu jangan kamu berdo’a sebelum Imam berdo’a. yang terjadi ummat sering tergesa-gesa dalam sholatnya, seusai imam mengucap salam dalam sholat, tidak sedikit makmum, langsung berdo’a dan meninggalkan masjid, yang seharusnya, pelaksanaan ibadah sholat itu telah selesai dengan menutup dengan do’a oleh imam secara berjamaah, atau setidaknya, makmum menunggu Imam berdiri dari tempat sholatnya, baru makmum berdiri, atau lebih baik, makmum menunggu hingga Imam meninggalkan masjid, baru makmum keluar dari masjid.
Karena Imam adalah pemimpin dalam pelaksanaan rangkaian ibadah di dalam masjid tersebut, terkecuali alasan-alasan syar’I, tentunya ini diperbolehkan tidak mengikuti hingga imam selesai berdoa.
Ada baiknya kita juga memperhatikan etika dalam pengertian umum, pada salah satu hadits Nabi, saat nabi mengutus Mu’az ke negeri Yaman. Nabi bertanya kepadanya. “Dengan apa engkau putuskan Hukum?” Mu’az menjawab, “Dengan Kitabulloh”, Rasul bertanya. “Kalau tidak kamu temukan?” Mu’az menjawab. “Dengan sunnah Rasul”. Jika tidak kamu temukan?” Mu’az pun menjawab lagi. “Dengan berijtihad.” Maka Rasul mengusap dadanya seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepeda apa yang diridhoi oleh Rasulullah” semoga tulisan ini mampu menambah keimanan dan ketaqwaan kita.
*) Penulis adalah Ketua DPD BKPRMI Kota Padangsidimpuan, Kepala KUA Padangsidimpuan Utara