Padangsidimpuan (ANTARA) - Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Artinya: "Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.
Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)
Hubungan intim yang dilakukan oleh pasangan suami istri asalnya adalah halal dan bahkan bernilai pahala, karena di dalam Islam itu merupakan bagian dari ibadah.
Namun ketika memasuki Bulan Suci Ramadhan, dalam keadaan berpuasa, bersetubuh ataupun bersenggama yang disebut hubungan suami istri menjadi terlarang dan menjadikan puasa seorang muslim batal.
Dikarenakan termasuk tindakan yang dapat menodai kesucian ataupun kehormatan Bulan Ramadhan, dan pelanggaran tersebut dihukumi dengan hukuman yang berat dalam kafaroh, sebagaimana dalam bunyi hadits riwayat Bukhari dan Muslim;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”.
Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah?
Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Dalam hadits di atas, lelaki tersebut menyebut celakalah aku, karena telah menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan, ini dapat kita yakini, bahwa bersetubuh di siang hari ramadhan mendapat dosa yang besar.
Maka jika itu dilakukan wajib hukumnya membayar kafaroh, bentuk kafaroh ini untuk menebus kesalahan di Bulan Ramadhan, dan ini hanya berlaku pada puasa Ramadhan, bukan pada puasa qada atau puasa sunnah lainnya, merujuk kepada pendapat Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa'di, semoga Allah merahmati beliau.
Adapun Kafaroh itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits yakni (1) membebaskan atu orang budak, (2) jka tidak diperoleh, berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
Ada hal yang sangat menarik dalam bunyi hadits tersebut, dan sangat menakjubkan, bahwa ada seseorang yang mengadu kepada baginda Rasulullah dalam keadaan takut, namun ia balik pulang dalam keadaan senang karena membawa kurma, kurma yang ia bawa tersebut adalah untuk membayar kafarohnya.
Artinya sah kafaroh dibayarkan oleh orang lain, jika benar-benar tidak mampu menunaikannya, dengan cara memberikannya kepada pelaku pelanggaran tersebut, namun ini sebatas kajian dan bukan menjadi dalil, bahwa kafaroh itu gugur, karena ia semacam hutang jika pemberi utang menggugurkannya.
Yang paling penting untuk diperhatikan dalam hal hubungan suami istri pada malam hari di bulan suci Ramadhan jangan sampai melalaikan kekhusukan ibadah kita, Syaikh as Sa'di Rahimahulloh berkata: "Allah menetapkan adanya lailatul Qadar (malam yang penuh keutamaan) dan itu terdapat di malam-malam terakhir di Bulan ramadhan.
Tidak sepantasnya kenikmatan Hubungan intim melalaikan dari ibadah malam akhir bulan ramadhan.
Hubungan intim, jika luput, dapat dilakukan dilain waktu, namun jika lailatul qadar luput, maka ia tidak akan memperolehnya lagi untuk saat itu.
Wallohua'lam bisshowaf.
Muhammad Asroi Saputra adalah Penghulu KUA Padangsidimpuan
Hukum hubungan suami istri di bulan Ramadhan
Jumat, 1 Mei 2020 14:02 WIB 7094