Medan (ANTARA) - Hari Ibu yang setiap tahun diperingati menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan kemajuan perempuan Indonesia sebagai sumber daya potensial pembangunan.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam peringatan Hari Ibu ke-91 di Kompleks Gelora Bung Karno, Minggu (8/12/2019). (liputan6.com)
Ia juga menambahi bahwa perempuan diharapkan dapat menjadi tangguh mandiri, kreatif dan melahirkan generasi yang membanggakan.
Namun, harapan hanya tinggal harapan. Karena kenyataannya hingga saat ini kehidupan perempuan masih dalam kondisi memprihatinkan.
Di Indonesia, jutaan perempuan di atas usia 15 tahun mengalami buta aksara karena sulit mengakses pendidikan.
Jutaan perempuan juga rentan dengan penyakit yang identik dengan kemiskinan. Seperti TBC, gizi buruk, malaria, disentri dan kematian Ibu saat melahirkan masih sangat tinggi.
Akibat kemiskinan, akhirnya mendorong puluhan juta kaum perempuan Indonesia terjebak dalam dunia kerja yang tidak ramah dan tidak memihak perempuan.
Sebagian diantara mereka hidup di kawasan- kawasan industri yang kumuh, menjadi roda pemutar mesin-mesin pabrik milik para pemodal dengan upah yang murah. Sebagiannya lagi bekerja di sektor-sektor informal yang tak mudah.
Padahal perempuan memiliki peran penting dalam ketahanan keluarga. Jika kondisi perempuan telah memprihatinkan, maka dapat dipastikan ketahanan keluarga dalam ancaman yang serius.
Lantas, apa saja yang menyebabkan rapuhnya ketahanan keluarga?
Rapuhnya Benteng Keluarga
Ketahanan keluarga Indonesia kian rentan akibat gempuran pemikiran yang membahayakan. Hal tersebut dapat dilihat dari tuntutan keadilan bagi perempuan untuk disamakan dengan laki-laki.
Padahal pemikiran tersebut diimpor dari Barat ke Indonesia, salah satu pintu masuknya adalah pemberdayaan perempuan dalam ekonomi.
Menyebabkan kaum ibu harus keluar dari rumah dan terampasnya hak anak atas kasih sayang ibunya. Peran istri sebagai sahabat suami juga tidak dapat dijalankan dengan utuh.
Hingga terjadi konflik yang memicu terjadi perceraian serta tindak kekerasan bagi keduanya. Keharmonisan rumah tangga dipertaruhkan demi mencukupi kebutuhan ekonomi.
Padahal perempuan bekerja merupakan kunci sukses Tujuan Pembanguan Berkelanjutan , Sustainable Development Goals (SDGs) yang dampaknya membuat makin banyak anak-anak terlantar.
Rapuhnya ketahanan keluarga juga disebabkan mewabahnya pemikiran liberalisme. Menjadikan pertimbangan keluarga bukan halal dan haram, tetapi apa yang disukai dan tidak disukai. Perilaku bebas membuat sensitifitas akan dosa menurun.
Misalnya, pengunaan istilah ‘kecelakaan’ pada perempuan yang hamil di luar nikah. Pun LGBT yang dianggap sebagai perbedaan kecenderungan seksual, bukan abnormalitas.
Pemerintah juga hanya fokus pada literasi digital, bukan memblokir laman-lama yang membawa dampak negatif. Padahal, hal itu juga yang menggempur ketahanan keluarga Indonesia hingga tak berdaya. Lengkaplah agenda perusakan keluarga yang berlangsung sistemik.
Sistem kapitalisme yang terus melanggengkan semua itu terjadi pada keluarga di Indonesia.
Islam Menjaga Ketahanan Keluarga
Dalam Islam keluarga merupakan tumpuan yang utama dan pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban.
Dan ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Lantas bagaimana jadinya jika pendidik anak yang pertama dan utama ini tidak lagi mendampingi anak-anaknya? Bagaimana ketahanan keluarga mereka bisa terjaga?
Saat ini bekerjanya perempuan akibat tidak terwujudnya kesejahteraan keluarga sebagai akibat dari sistem ekonomi kapitalis. Tata kehidupan yang diatur dengan kapitalisme juga membuat para perempuan terpesona dengan jebakan pemberdayaan perempuan.
Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagi kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada dirinya.
Sehingga dia tidak usah bersusah payah bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai resiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis sekarang ini.
Bahkan negara akan memfasilitasi para suami untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada.
Dan jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, maka negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para ibu.
Ketahanan keluarga ditandai terpenuhinya kebutuhan dasar individu dan berfungsinya komponen keluarga. Maka generasi berkualitas yang didambakan pun didapatkan.
Dengan penerapan hukum Islam kemuliaan para ibu (kaum perempuan) sebagai pilar keluarga dan masyarakat demikian terjaga, sehingga mereka mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai individu, sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.
Jika menerapkan hukum Islam sebagaimana yang pernah diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz , maka kesejahteraan menjadi sebuah keniscayaan.
Khalifah Umar menggunakan dana di baitulmal (kas negara) untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan gratis.
Khalifah Umar II pun memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondensi berlangsung lancar.
Sehingga, rakyatnya benar-benar hidup sejahtera. Tak ada lagi yang mengalami kekurangan pangan dan kesusahan.
Berkat pengelolaan dana baitulmal yang benar, sampai-sampai para pengelola baitulmal kesulitan lagi mencari orang miskin yang harus disantuni.
Kemakmuran dan kemajuan yang berhasil ditorehkan umat Islam pada masa kekhalifahan tak lepas dari pengelolaan keuangan yang profesional dan transparan. Negara benar-benar hadir sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyatnya.
Fungsi negara berjalan dengan maksimal, hal tersebut bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang menjalankan aturan yang justru membuat rakyat semakin menderita. Ketahanan keluarga hanya sebuah angan-angan tanpa bisa diwujudkan.
Sudah saatnya negeri ini mengambil Islam sebagai solusi atasi masalah ketahanan keluarga. Keluarga yang harmonis, sejahtera dan melahirkan generasi berkualitas bukan hanya sekadar harapan, tapi terwujud dalam kehidupan.
Penulis adalah egiat Literasi dan Pemerhati Sospol
Menjaga Ketahanan Keluarga dengan Islam
Selasa, 24 Desember 2019 9:30 WIB 6794