Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan kronologi pemeriksaan etik terhadap mantan Deputi Penindakan KPK Irjen Pol Firli Bahuri.
KPK menyimpulkan bahwa calon pimpinan KPK tersebut terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
"Pada 18 September 2018 kami menerima pengaduan masyarakat. Selanjutnya pada 21 September-31 Desember 2018 dilakukan proses pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal. Dalam proses ini terdapat sejumlah temuan. Diduga saudara F sebagai Deputi Penindakan KPK melakukan sejumlah pertemuan," kata penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.
Konferensi pers tersebut juga dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Firli menjadi Deputi Penindakan KPK pada 6 April 2018 dan kembali ke Polri pada 20 Juni 2019.
"Ada dua kali pertemuan dengan gubernur NTB yaitu pada 12 Mei 2018 dalam acara Harlah Ke-84 GP Ansor dan 'launching' penanaman jagung 100 ribu hektare di Bonder, Lombok Tengah. Dalam pertemuan itu terlihat saudara F (Firli) bicara dengan MZM (Muhammad Zainul Majdi), padahal pada 2 Mei 2018 KPK melakukan penyelidikan dugaan korupsi terkait kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT NNT pada tahun 2009-2016," ungkap Tsani.
Baca juga: KPK sebut Firli lakukan pelanggaran etik berat
Firli berangkat ke lokasi pada Sabtu tidak dengan surat tugas, berangkat dengan uang pribadi, Firli dijemput panitia.
Dalam acara tersebut, Tuan Guru Badjang dengan Firli duduk pada barisan depan dan berbincang cukup akrab. Kemudian F memberikan pidato sebagai penutup acara di mana panitia menyebutkan F sebagai Deputi Penindakan KPK.
Selanjutnya, pada 13 Mei 2018 dalam acara "farewell and welcome game" tenis Danrem 162/WB di lapangan Tenis Wira Bhakti. Dalam pertemuan itu Firli duduk berdampingan dan bicara.
Kegiatan ini diadakan pada hari Minggu setelah acara di Bonder, Lombok Tengah. Acara bermain tenis adalah sebagai perpisahan dengan Danrem setempat. Kegiatan ini berbeda dengan serah terima jabatan yang dilakukan sebelumnya pada bulan April 2018 di mana pimpinan diminta izin saat itu.
Dari hasil pemeriksaan Pengawas Internal, Firli menjelaskan bahwa pertemuan tersebut tidak direncanakan.
"Dalam foto nampak keakraban antara TGB dengan F yang ditunjukkan dengan F menggendong anak dari TGB. Dalam video tidak terlihat upaya F untuk menghindar dari situasi pertemuan yang terjadi," kata Tsani.
Pertemuan lain adalah untuk kasus kedua yaitu pada 8 Agustus 2018, penyidik KPK memanggil Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar sebagai saksi untuk tersangka Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Yaya Purnomo dalam kasus suap terkait dana perimbangan daerah. Namun karena tidak dapat hadir maka pemeriksaan dijadwalkan ulang
"F ditelepon oleh NW yaitu bawahan BA yang menginformasikan bahwa BA akan ke KPK. F menjemput langsung ke lobi yang didampingi oleh kabag pengamanan," tambah Tsani.
Selanjutnya Firli masuk melalui lift khusus dan langsung masuk ke ruangannya. Setelah itu memanggil penyidik yang terkait kasus yang diduga melibatkan Bahrullah Akbar.
"Pertemuan antara BA dengan F sampai dengan keluar dari ruangan sebagaimana video yang kita gunakan sebagai alat bukti pada kisaran 30 menit. BA diantarkan oleh penyidik ke lantai 2 untuk dilakukan pemeriksaan," ungkap Tsani.
Pertemuan lain adalah pada 1 November 2018 malam hari, di sebuah hotel di Jakarta yaitu Firli bertemu dengan seorang pimpinan partai politik.
Proses selanjutnya adalah pada 23 Januari 2019 Deputi PIPM menyampaikan laporan ke pimpinan KPK.
Pada 7 Mei 2019 Pimpinan KPK meminta pertimbangan Dewan Pertimbangan Pegawai, maka SOP pimpinan KPK akan minta pertimbangan DPP untuk pertimbangan lebih lanjut.
Pada 17 Mei 2019 Rapat DPP diselenggarakan. Deputi PIPM memaparkan laporan hasil pemeriksaan pada Dewan Pertimbangan Pegawai.
Pada 11 Juni 2019 Polri mengirimkan surat penarikan F dalam surat tersebut tertera F dibutuhkan dan akan mendapat penugasan baru di lingkungan Polri
Pada 19 Juni 2019 dikarenakan ada kebutuhan penugasan dan dalam rangka menjaga hubungan baik antarinstitusi Polri dan KPK maka dilakukan koordinasi lebih lanjut.
"Seandainya kemarin yang bersangkutan tidak dibutuhkan oleh kantornya dan masih di sini, itu prosesnya pasti berlanjut jadi saat proses itu yang bersangkutan diperlukan instansinya tentu dia harus kembali dan menjabat, praktis KPK tidak bisa menghalangi seseorang untuk melanjutkan karirnya dan dia kembali. KPK memberhentikan dia dalam posisi yang kami sebut terhormat, kalau kami sebut tidak terhormat pasti dia tidak akan menjalani karirnya," kata Saut.