Semarang, 4/2 (Antara) - Kerinduan akan negeri yang gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya) bakal terobati manakala pada pemilu mendatang melahirkan pemimpin yang piawai mengelola potensi alam Indonesia yang melimpah melalui kebijakan-kebijakannya.
Indonesia yang mengimpor beras, gula, hingga garam (?) adalah suatu ironi karena negeri yang terkenal dengan kekayaan alam melimpah dan kesuburan tanahnya semestinya tidak melakukan hal itu.
Ironinya lagi, utang kian tahun semakin bertambah. Pada tanggal 23 Januari 2014, Kementerian Keuangan merilis posisi utang pemerintah dapat dijaga pada tingkat yang aman meskipun dari sisi jumlah terdapat kenaikan dari Rp1.590,66 triliun pada akhir 2009 menjadi Rp2.371,39 triliun pada akhir 2013.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yudi Pramadi dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (23/1), menyebutkan bahwa kenaikan "outstanding" utang itu disebabkan oleh realisasi kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun sebagai dampak melemahnya kurs rupiah mengingat sebagian utang pemerintah adalah dalam mata uang asing.
Di balik utang menggunung, agaknya para koruptor juga ikut andil. Jika koruptor tak merongrong Ibu Pertiwi, utang pun tak sampai ribuan triliun rupiah, bahkan mungkin lunas. Jangan sampai bayi yang baru lahir pun terbebani utang negara.
Dalam situasi Indonesia menghadapi bencana korupsi, menurut peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D., faktor pemimpin menjadi lebih dominan menentukan.
Hal itu karena tiga alasan, yaitu situasi ini menghajatkan pemimpin dapat membuat keputusan yang tegas, tepat, dan "in time" dalam mengatasi krisis; kedua, pemimpin harus mempunyai kelebihan dibanding pemimpin dalam keadaan normal atau "great leader" agar mampu membawa rakyat tetap menuju tujuan nasional walau di tengah situasi krisis; ketiga, pemimpin juga dituntut untuk ikut mengembangkan dan memantapkan sistem yang ada agar masa transisi segera berakhir.
Profesor Wiwieq--sapaan akrab R. Siti Zuhro--lantas mempertanyakan, "Mengapa keputusan yang tegas, tepat, dan 'in time' amat diperlukan dalam situasi krisis?"
Menurut Boin et all (The Politics of Crisis Management, 2005) dalam krisis, suatu bangsa menghadapi empat situasi "critical" (genting), yaitu keputusan saat krisis memiliki konsekuensi sangat luas karena terkait dengan kepentingan masyarakat yang mendasar dan masa depannya. Keputusannya punya risiko, yakni ekonomi, politik, sosial, dan kemanusiaan yang serius.
Namun, kata Prof. Wiwieq yang juga alumnus Curtin University, Perth, Australia itu, keputusan saat krisis bersifat dilematik. Dalam kondisi ini, harus memilih "pilihan barter", misalnya, aspek politik diselamatkan (popularitas sang pemimpin?), tetapi aspek ekonomi mesti dikorbankan, dan sebaliknya.
Keputusan saat krisis dihadapkan pada ketidakpastian. Dalam situasi seperti ini krisis mendesak pemimpin untuk mengambil tindakan berani. Keputusan saat krisis menghajatkan kesigapan. Dalam keadaan ini, tidak ada 'kemewahan' waktu, tidak berlama-lama dalam kehati-hatian, dan tidak boleh 'memanjakan' keraguan.
Sejarah bangsa-bangsa lain menunjukkan bahwa situasi krisis dan transisi dapat melahirkan pemimpin besar (great leader) daripada situasi yang telah mapan dan normal.
"Great leader" hanya akan terjadi kalau pemimpin mempunyai visi dan karakter, sebagai modal dasar bagi kapabilitas dan integritas kepemimpinannya.
Indonesia berada dalam proses konsolidasi demokrasi. Dalam kondisi seperti ini membutuhkan pemimpin nasional yang memiliki "strong leadership" (kepemimpinan yang tangguh).
Sejumlah pertanyaan pun mengemuka, misalnya, bagaimana seharusnya kepemimpinan dalam proses konsolidasi demokrasi? Seperti apa realitas kepemimpinan yang ada saat ini? Benarkah kita sedang mengalami krisis kepemimpinan? Bagaimana kita keluar dari krisis kepemimpinan tersebut? Bagaimana seharusnya kepemimpinan dalam situasi Indonesia menghadapi bencana korupsi?
Menurut Prof. Wiwieq, dalam kehidupan demokrasi yang telah mapan, sistem lebih berpengaruh daripada pemimpin. Pasalnya, demokrasi mengajarkan pemimpin bekerja dalam sistem.
Deviasi yang Mewabah
Realitas saat ini krisis makin berlanjut, transisi tak kunjung berakhir, pemimpin yang mumpuni tak kunjung muncul, mengapa? Inilah yang menjadi pertanyaan, mengapa pemimpin yang mumpuni tidak muncul? Ada deviasi yang mewabah dalam proses rekrutmen pemimpin di banyak bidang, lebih berorientasi pada faktor akseptabilitas (semu) dan mengabaikan faktor visi, kapabilitas, dan integritas yang akan melahirkan "quasi leadership" (kepemimpinan kuasi/kuasipimpinan).
"Akseptabilitas semu yang semata-mata didasarkan atas popularitas, koneksitas (nepotisme), uang (money politics), nasab (keturunan)," kata Prof. Wiwieq.
Terdapat tiga karakter kepemimpinan kuasi, yaitu sikap (attitude), lebih sebagai politikus daripada pemimpin (more as politician rather than leader); perilaku (behaviour), lebih transaksional daripada transformatif (more transactional rather than transformative); tindakan/keputusan (actions/decisions), lebih simbolis daripada fungsional (more symbolic rather than functional).
Perilaku politikus versus pemimpin. Indikatornya politikus lebih "power oriented" atau berusaha memperoleh, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini kekuasaan adalah tujuan.
Kalau perilaku pemimpin, lebih berorientasi pada idealisme atau tujuan dengan memanfaatkan kekuasaan yang diberikan. Dia tidak terpesona dengan kekuasan dan berani kehilangan kekuasaan demi cita-cita yang diyakini. Contoh: Hatta dan Gandhi. Dalam hal ini kekuasaan adalah alat untuk mencapai tujuan.
Hal yang menonjol pada pemimpin transaksional, yakni keputusan diambil dengan pertimbangan untung-rugi, seperti proses perdagangan, bukan benar-salah atau tepat-melenceng. Mereka mengandalkan "hard power", antara lain perintah, "rewards", hukuman, dan kepentingan pribadi (self-interest).
Sementara itu, pemimpin transformatif berorientasi pada perubahan demi tercapainya tujuan dengan sejauh mungkin melibatkan pengikutnya. Mereka memanfaatkan "soft power", yakni dengan memberi contoh, memotivasi pengikut untuk memiliki idealisme dalam upaya mencapai tujuan.
Karen Boehnke dkk. (1998)--yang meneliti lintas budaya--menemukan bahwa pemimpin transformatif memiliki kesamaan perilaku: "visioning" (memberikan rumusan masa depan); "inspiring" (menimbulkan kegairahan); "stimulating" (menimbulkan minat); "coaching" (memberikan bimbingan); "team building" (bekerja melalui team-work).
Kehadiran simbolik ditandai dengan keberadaan fisik sang pemimpin ke tengah masyarakat yang dirundung krisis, kunjungan ke lokasi bencana, pidato, dsb. Kehadiran fungsional dibuktikan melalui aksi nyata berupa keputusan atau kebijakan yang tertata dan terukur dalam mengatasi persoalan dengan tepat dan cerdas.
Terus, bagaimana kita dapat mengakhiri masa transisi? Apakah untuk mengakhiri masa transisi diperlukan transisi kepemimpinan? Dan, juga transisi pemimpin? Kriteria kepemimpinan dan pemimpin seperti apa yang diperlukan untuk dapat mengakhiri masa transisi?
Prof. Wiwieq berpendapat bahwa transisi kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mengakhiri masa transisi yang berkepanjangan.
Di samping itu, untuk menjamin terjadinya transisi kepemimpinan secara demokratis dan konstitusional diperlukan kesadaran dan kelegawaan para elite nasional. Mungkinkah para elite bercermin kepada Gandhi atau Hatta?
Adapun kepemimpinan yang diharapkan dilihat dari anatomi kepemimpinan, yakni pada intinya kepemimpinan adalah adanya "decision" (keputusan), tidak ada kepemimpinan atau pemimpin tanpa keputusan.
Setiap keputusan yang diambil harus benar dan mengarah pada tujuan nasional atau bervisi; keputusan yang diambil harus yang berkualitas yang sangat erat kaitannya dengan kapabilitas dan integritas. Selain itu, keputusan yang diambil harus dapat dilaksanakan (efektif) atau dapat diterima (akseptabilitas).
Prof. Wiwieq lalu memaparkan lima kriteria pemimpin masa depan, yaitu visioner (arah dan akurasi keputusan); "decisive" (kualitas keputusan); kapabel; berintegritas; akseptabel (legitimasi, efektivitas keputusan).
Yang menjadi pertanyaan nama-nama yang belakangan ini mengemuka apakah masuk lima kriteria tersebut? Atau, pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli 2014, bakal muncul "Satrio Piningit" yang konon akan membawa Indonesia pada zaman keemasan, sebagaimana ramalan Joyoboyo (raja dari Kerajaan Kediri yang memerintah sekitar 1135--1157). Wallahualam bissawab. (D007/