Oleh Irwan Arfa
Medan, 8/5 (Antara) - Kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 dinilai perlu perbaikan di berbagai aspek karena dinilai buruk, baik dari aspek penyelenggara maupun sistem yang dijalankan.
"Jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 dan 2009, pemilu kali ini lebih buruk," kata pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Muryanto Amin, MSi di Medan, Kamis.
Menurut Muryanto, jika dilihat secara umum, terlihat adanya kekurangan dan penurunan kualitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) jika dibandingkan penyelenggaraan dua pemilu sebelumnya.
Kekurangan itu dapat dilihat dari sisi penyelenggara pemilu dengan kesan adanya keengganan KPU untuk memanfaatkan data yang ada untuk memperbaiki penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.
Demikian juga dengan pola rekrutmen penyelenggara yang tidak mengutamakan sosok-sosok yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan maksimal dalam kepemiluan.
"Pola selama ini justru terkesan seperti membuka lowongan pekerjaan," katanya.
Di tingkat nasional, kata dia, kekurangan tersebut dapat dilihat dari perekrutan komisioner melalui DPR RI yang notabene akan menjadi peserta kegiatan yang akan dijalankan.
Sebagai pihak yang berkepentingan dalam Pemilu, keterlibatan DPR RI dalam menentukan penyelenggara tentu saja menimbulkan keraguan terhadap independensi komisioner terpilih.
Di daerah, pola perekrutan yang diterapkan juga mengkhawatirkan karena terkesan seperti mencari "orang yang mau bekerja", bukan menyeleksi sosok mumpuni yang ingin mengabdi untuk bangsa dan negara.
Seharusnya, pemerintah mengundang tokoh-tokoh yang berintegritas dan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam kepemiluan untuk mengabdi sebagai penyelenggara pemilu.
"Pola itu diterapkan di AS sehingga kualitas Pemilunya sangat baik," kata calon doktor ilmu politik dari Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Burukya kualitas Pemilu 2014 tersebut juga dapat terlihat dari proses pencalegan dengan munculnya nama-nama yang kurang dikenal dan tidak pernah aktif di partai.
"Dia tiba-tiba saja muncul tanpa merasakan aura dan dinamika di parpol," kata Muryanto.
Sedangkan dari aspek pemilih, Pemilu 2014 diramaikan dengan pemilih yang cendrung tidak begitu paham dengan implikasi yang ditimbulkan setelah pesta demokrasi tersebut.
Hal itu muncul karena minimnya pendidikan politik yang didapatkan masyarakat serta minimnya komunikasi antara pemilih dengan caleg yang mengharapkan dukungan dalam Pemilu.
"Akibatnya, yang terjadi adalah proses transasksiobal karena pemilih tidak paham apa yang akan terjadi setelah Pemilu," ujarnya.
Kondisi itu diperparah dengan sistem Pemilu yang menerapkan asas proporsional semiterbuka. "Sistem itu merupakan istilah baru dalam ilmu politik," katanya.
Sistem Pemilu yang proporsional semiterbuka tersebut dianggap semacam "rekayasa" dari elit politik yang ingin tetap berada dalam pusaran kekuasaan dan pemerintahan.
"Karena sistemnya tidak mendukung, hasinlya juga tidak mendukung proses demokrasi," kata Muryanto. (I023)